| Home | Book-Literature | Inspiring-Religion | Economy-Business | Social-Cultural-Languange | Politics-Conspiracy | Health-Sport | Music-Movie | Femininity-Parenting |

Wednesday 21 May 2014

DOA SEORANG PRAJURIT BAGI PUTERANYA


Tuhanku, bentuklah puteraku menjadi manusia yang cukup kuat untuk menyadari manakala ia lemah
dan cukup berani untuk menghadapi dirinya sendiri manakala ia takut,
manusia yang memiliki rasa bangga dan keteguhan dalam kekalahan, rendah hati dan jujur dalam kemenangan.
Bentuklah puteraku menjadi seorang yang kuat dan mengerti bahwa mengetahui serta mengenal diri sendiri adalah dasar dari segala ilmu yang benar.

Tuhanku, janganlah puteraku Kau bimbing pada jalan yang mudah dan lunak,
biarlah Kau bawa dia ke dalam gelombang dan desak kesulitan tantangan hidup. 

Bimbinglah puteraku, supaya dia mampu tegak berdiri di tengah badai, serta berwelas asih kepada mereka yang jatuh.

Bentuklah puteraku, menjadi manusia berhati bening dengan cita-cita setinggi langit. Seorang manusia yang sanggup memimpin dirinya sendiri, sebelum memimpin orang lain.
Seorang manusia yang mampu meraih hari depan tapi tak melupakan masa lampau. 

Dan setelah segala menjadi miliknya semoga puteraku dilengkapi hati yang ringan untuk bergembira, serta selalu bersungguh-sungguh, namun jangan sekali-kali berlebihan.
Berikan kepadanya kerendahan hati, kesederhanaan dan keagungan yang hakiki, pikiran cerah dan terbuka bagi sumber kearifan dan kelembutan dari kekuatan yang sebenarnya. 

Sehingga aku, orang tuanya, akan berani berkata, “hidupku tidaklah sia-sia”.



  
[Ditulis Douglas Mac Arthur pada masa paling sulit di awal Perang Pasifik 
Sumber: MOTIVASI NET oleh  Ir. Andi Muzaki, SH., MT.]

Tuesday 20 May 2014

MASIH RELEVANKAH 21 APRIL DIPERINGATI SEBAGAI HARI KARTINI & LAYAKKAH KARTINI DISEBUT IKON EMANSIPASI PEREMPUAN?

Memasuki bulan April, biasanya di sekolah, instansi, organisasi, kelompok masyarakat akan ramai diadakan lomba, talkshow, atau kegiatan lain dalam memperingati Hari Kartini.

Sudah bukan hal yang asing jika pada tanggal  21 April warga Indonesia utamanya kaum hawa meramaikan acara tersebut.

Beberapa hari lalu saya juga sempat melihat iklan film Indonesia berjudul Surat Cinta untuk Kartini yang akan segera tayang di bioskop.

RA Kartini sering dipuja dan dipuji melebihi tokoh-tokoh perempuan Indonesia lainnya. Beliau disebut-sebut sebagai tokoh utama pergerakan emansipasi perempuan. Apakah hal ini masih relevan?

Saya sering berfikir dan bertanya-tanya,

Kenapa setiap tanggal 21 April kita memperingati Hari Kartini dan kenapa harus Kartini? Apakah tidak ada perempuan Indonesia lain yang lebih layak ditokohkan dan diteladani selain Kartini?”

Apakah anda juga sempat berfikir demikian?

Tahukah anda bahwa pertanyaan kritis semacam ini telah sering diungkapkan para sejarawan yang mengetahui sejarah, perkembangan pendidikan dan peran perempuan Indonesia di masa lampu.

Diantaranya adalah sejarawan Persi Tiar Anwar Bahtiar dan Prof. Dr. Harsja W. Bachtiar.

Mereka mengkritik pengkultusan R.A. Kartini sebagai pahlawan nasional Indonesia dan mempertanyakan mengapa harus Kartini yang dijadikan sebagai simbol kemajuan perempuan Indonesia.

Harsja menunjuk dua sosok perempuan yang hebat dalam sejarah Indonesia.

Pertama, Sultanah Sri Ratu Tajul Alam Safiatuddin Johan Berdaulat dari Aceh.
Kedua, Siti Aisyah We Tenriolle dari Sulawesi Selatan.

Anehnya dua wanita tersebut tidak masuk dalam buku Sejarah Setengah Abad Pergerakan Wanita Indonesia (Jakarta: Balai Pustaka, 1978), terbitan resmi Kongres Wanita Indonesia (Kowani).

Padahal dua wanita itu sungguh luar biasa.
Sebagai catatan, Kartini masuk dalam buku tersebut.

Sultanah Safiatudin dikenal sebagai sosok perempuan yang cerdas dan aktif mengembangkan ilmu pengetahuan. Selain bahasa Aceh dan Melayu, beliau menguasai bahasa Arab, Persia, Spanyol, dan Urdu.

Di masa pemerintahannya, ilmu dan kesusastraan berkembang pesat. Ketika itulah lahir karya-karya besar dari Nuruddin ar-Raniry, Hamzah Fansuri, dan Abdur Rauf.

Sultanah memerintah Aceh cukup lama, yaitu dari tahun 1644 sampai dengan tahun 1675. Beliau dikenal giat dalam memajukan pendidikan, baik perempuan maupun laki-laki.

Beliau juga berhasil menampik usaha-usaha Belanda untuk menempatkan diri di daerah Aceh. VOC pun tidak berhasil memonopoli perdagangan timah dan komoditi lainnya.

Wow, impressive ya?

Sosok perempuan yang kedua adalah Siti Aisyah We Tenriolle.
Siti Aisyah We Tenriolle bukan hanya dikenal ahli dalam pemerintahan, tetapi juga mahir dalam kesusastraan.

B.F. Matthes, orang Belanda yang ahli sejarah Sulawesi Selatan, mengaku mendapat manfaat besar dari sebuah epos La-Galigo, yang mencakup lebih dari 7.000 halaman folio.

Ikhtisar epos besar itu dibuat sendiri oleh Siti Aisyah We Tenriolle.

Pada tahun 1908, Siti Aisyah We Tenriolle mendirikan sekolah pertama di Tanette, tempat pendidikan modern pertama yang dibuka baik untuk anak-anak laki-laki maupun perempuan.


Penelusuran Prof. Harsja W. Bachtiar (Kartini dan Peranan Wanita dalam Masyarakat Kita) terhadap penokohan Kartini akhirnya menemukan titik terang.

R.A. Kartini memang dipilih oleh orang Belanda untuk ditampilkan ke depan sebagai pendekar kemajuan perempuan pribumi di Indonesia.

Mereka adalah H.H. van Kol (tokoh sosialisme) dan C.Th. van Deventer (penganjur “Haluan  Etika”).

Mula-mula Kartini bergaul dengan Asisten-Residen Ovink (suami-istri).

Kemudian Cristiaan Snouck Hurgronje (penasehat pemerintah Hindia Belanda) mendorong J.H. Abendanon (Direktur Departemen Pendidikan, Agama dan Kerajinan) agar memberikan perhatian pada Kartini tiga bersaudara.

Harsja menulis tentang kisah ini,

“Abendanon mengunjungi mereka dan kemudian menjadi semacam sponsor bagi Kartini.

Kartini berkenalan dengan Hilda de BooyBoissevain, istri ajudan Gubernur Jendral, pada suatu resepsi di Istana Bogor, suatu pertemuan yang sangat mengesankan kedua belah pihak.”

Kartini kemudian berkenalan dengan Estella Zeehandelaar (Stella), seorang aktivis gerakan Sociaal Democratische Arbeiderspartij (SDAP).

Perempuan Belanda ini kemudian mengenalkan Kartini pada berbagai ide modern, terutama mengenai perjuangan perempuan dan sosialisme.


Pada tahun 1911, lebih dari enam tahun setelah Kartini wafat (umur 25 tahun), Abendanon menerbitkan kumpulan surat-surat Kartini dengan judul “Door Duisternis tot Lich”.

Kemudian terbit edisi bahasa Inggrisnya dengan judul “Letters of a Javaness Princess”.

Beberapa tahun kemudian, terbit terjemahan dalam bahasa Indonesia dengan judul “Habis Gelap Terbitlah Terang: Boeah Pikiran” (1922).


Dua tahun setelah penerbitan buku Kartini, Hilda de Booy-Boissevain memprakarsai pengumpulan dana yang memungkinkan pembiayaan sejumlah sekolah di Jawa Tengah.

27 Juni 1913, didirikan Komite Kartini Fonds, yang diketuai C.Th. van Deventer. Usaha pengumpulan dana ini lebih memperkenalkan nama Kartini, serta ide-idenya pada orang-orang di Belanda.


Harsja Bachtriar kemudian mencatat,

“Orang-orang Indonesia di luar lingkungan terbatas Kartini sendiri, dalam masa kehidupan Kartini hampir tidak mengenal Kartini dan mungkin tidak akan mengenal Kartini;

bilamana orang-orang Belanda ini tidak menampilkan Kartini ke depan dalam tulisan-tulisan, percakapan-percakapan maupun tindakan-tindakan mereka.”

Guru besar UI tersebut menyimpulkan bahwa kita mengambil alih Kartini sebagai lambang emansipasi perempuan di Indonesia dari orang-orang Belanda.

Kita tidak mencipta sendiri lambang budaya ini, meskipun kemudian kitalah yang mengembangkannya lebih lanjut.

Harsja kemudian mengimbau agar informasi tentang perempuan-perempuan hebat Indonesia dibuka seluas-luasnya, sehingga akan dapat menjadi pengetahuan dan teladan bagi banyak orang.

Beliau secara halus berusaha meruntuhkan mitos Kartini.

Harsja menegaskan,

“Dan bilamana ternyata bahwa dalam berbagai hal wanita-wanita ini lebih mulia, lebih berjasa daripada R.A. Kartini;

kita harus berbangga bahwa wanita-wanita kita lebih hebat daripada dikira sebelumnya, tanpa memperkecil penghargaan kita pada R.A. Kartini.”


Dalam artikelnya di Jurnal Islamia, Tiar Anwar Bahtiar juga menyebut beberapa sosok perempuan yang sangat layak dimunculkan, seperti Dewi Sartika dan Rohana Kudus.
   
Dewi Sartika dan Rohana Kudus melakukan lebih dari yang dilakukan Kartini.

Berikut ini paparan tentang dua sosok perempuan hebat tersebut, sebagaimana dikutip dari artikel Tiar Bahtiar (INSISTS-Republika, 9/4/2009).

Dewi Sartika (1884-1947) bukan hanya berwacana tentang pendidikan kaum wanita.

Ia bahkan berhasil mendirikan sekolah yang belakangan dinamakan Sakola Kautamaan Istri (1910) yang berdiri di berbagai tempat di Bandung dan luar Bandung.

Rohana Kudus (1884-1972) melakukan hal yang sama di kampung halamannya.

Selain mendirikan Sekolah Kerajinan Amal Setia (1911) dan Rohana School (1916), Rohana Kudus bahkan menjadi jurnalis sejak di Koto Gadang sampai saat ia mengungsi ke Medan.

Ia tercatat sebagai jurnalis wanita pertama di negeri ini.

Rohana menyebarkan idenya melalui koran-koran yang ia terbitkan sendiri; yaitu Sunting Melayu (Koto Gadang tahun 1912), Wanita Bergerak (Padang), Radio (Padang), dan Cahaya Sumatera (Medan).

Kartini hanya menyampaikan ide-idenya (idea) dalam surat, dan orang Belandalah yang mempublikasikan dan mengenalkannya.

Sedangkan Dewi Sartika dan Rohana Kudus sudah lebih jauh melangkah dengan mewujudkan ide-idenya dengan tindakan nyata (action).

Ada pula Tjoet Nja’ Dhien dan Tengku Fakinah yang tidak pernah mau tunduk pada Belanda. Selain ikut berperang, Tengku Fakinah merupakan seorang ulama perempuan.

Di Aceh, kisah perempuan ikut berperang atau menjadi pemimpin pasukan perang bukanlah suatu hal yang aneh.

Dengan membaca kisah-kisah perjuangan Cut Nyak Dien, Tengku Fakinah, Cut Mutia, Pecut Baren, Pocut Meurah Intan, dan Cutpo Fatimah dari Aceh;  

kita akan menyadari bahwa klaim-klaim keterbelakangan kaum perempuan di Indonesia pada masa Kartini hidup ini harus segera digugurkan.

Mereka adalah perempuan-perempuan pejuang yang turut mempertahankan kemerdekaan Aceh dari serangan Belanda.

Bahkan jauh sebelum era penjajahan Belanda di Indonesia, Kerajaan Aceh sudah memiliki Panglima Angkatan Laut perempuan pertama, yakni Laksamana Cut Malahayati.


Berdasarkan fakta dan informasi tersebut saya semakin bartanya-tanya. Mengapa Kartini? Mengapa bukan Rohana Kudus? Mengapa bukan Cut Nyak Dien?

Mengapa Abendanon memilih Kartini? Dan mengapa kemudian bangsa Indonesia juga mengikutinya?   


Telah diungkapkan oleh Prof. Harsja W. Bachtiar dan Tiar Anwar Bahtiar, penokohan R.A. Kartini tidak terlepas dari peran Belanda.

Harsja W. Bachtiar bahkan menyinggung nama Christian Snouck Hurgronje dalam rangkaian penokohan Kartini oleh Abendanon.

Padahal, Snouck adalah seorang orientalis Belanda yang memiliki kebijakan sistematis untuk meminggirkan Islam dari bumi Nusantara.


Pakar sejarah Melayu, Prof. Naquib al-Attas sudah mengingatkan adanya upaya yang sistematis dari orientalis Belanda untuk memperkecil peran Islam dalam sejarah Kepulauan Nusantara.


Dalam bukunya, Islam dalam Sejarah dan Kebudayaan Melayu (Bandung: Mizan, 1990, cetakan ke-4), Prof. Naquib al-Attas menulis tentang masalah tersebut,

“Kecenderungan ke arah memperkecil peranan Islam dalam sejarah Kepulauan ini, sudah nyata pula, misalnya dalam tulisan-tulisan Snouck Hurgronje pada akhir abad yang lalu.

Kemudian hampir semua sarjana-sarjana yang menulis selepas Hurgronje telah terpengaruh kesan pemikirannya yang meluas dan mendalam di kalangan mereka,

sehingga tidak mengherankan sekiranya pengaruh itu masih berlaku sampai dewasa ini.”


HUBUNGAN KARTINI DENGAN SNOUCK HURGRONJE

Kartini memang beberapa kali menyebut nama Snouck di suratnya kepada Ny. Abendanon. Kartini memandang orientalis-kolonialis Balanda ini sebagai pakar dalam soal Islam.

Dalam suratnya kepada Ny. Abendanon tertanggal 18 Februari 1902, Kartini menulis,

”Salam, Bidadariku yang manis dan baik! Masih ada lagi suatu permintaan penting yang hendak saya ajukan kepada Nyonya.

Apabila Nyonya bertemu dengan teman Nyonya Dr. Snouck Hurgronje, sudikah Nyonya bertanya kepada beliau tentang hal berikut,

‘Apakah dalam agama Islam juga ada hukum akil balig seperti yang terdapat dalam undang-undang bangsa Barat?’

Ataukah sebaiknya saya memberanikan diri langsung bertanya kepada beliau? Saya ingin sekali mengetahui sesuatu tentang hak dan kewajiban perempuan Islam serta anak perempuannya.” 


Melalui bukunya, Snouck Hurgronje en Islam, P.SJ. Van Koningsveld memaparkan sosok dan kiprah Snouck Hurgronje dalam upaya membantu penjajah Belanda untuk menaklukkan Islam.

Mengikuti jejak orientalis Yahudi, Ignaz Goldziher, yang menjadi murid para Syaikh Al-Azhar Kairo; Snouck Hurgronje menyatakan diri sebagai seorang muslim dan berganti nama menjadi Abdul Ghaffar.

[Salah satu sumber mengatakan bahwa Hurgronje menyatakan diri sebagai muslim pada tahun 1885, dan sumber lain menyatakannya pada tahun 1988.]

Strategi itu dijalankan agar dia diterima menjadi murid para ulama Mekkah. Pengalaman ini nantinya memudahkan langkah Hurgronje dalam menembus daerah Muslim di berbagai wilayah di Indonesia.
    
Menurut Van Koningsveld, pemerintah kolonial Belanda mengerti benar sepak terjang Snouck dalam penyamarannya sebagai Muslim.

Snouck dianggap oleh banyak kaum Muslim di Nusantara ini sebagai ulama. Bahkan ada yang menyebutnya sebagai Mufti Hindia Belanda. Juga ada yang memanggilnya Syaikhul Islam Jawa. 

Padahal Snouck sendiri menulis tentang Islam,

”Sesungguhnya agama ini meskipun cocok untuk membiasakan ketertiban kepada orang-orang biadab,

tetapi tidak dapat berdamai dengan peradaban modern, kecuali dengan suatu perubahan radikal, namun tidak sesuatupun memberi kita hak untuk mengharapkannya.” 

Christian Snouck Hurgronje lahir pada tahun 1857.
Beliau adalah adviseur pada Kantor voor Inlandsche zaken pada periode 1899-1906.

Kantor inilah yang bertugas memberikan nasehat kepada pemerintah kolonial dalam masalah pribumi. 

Dalam bukunya, Politik Islam Hindia Belanda (Jakarta: LP3ES, 1985), 
Dr. Aqib Suminto mengupas panjang lebar pemikiran dan nasehat-nasehat Snouck Hurgronje kepada pemerintah kolonial Belanda.

Salah satu strateginya, adalah melakukan ‘pembaratan’ kaum elite pribumi melalui dunia pendidikan, sehingga mereka jauh dari Islam.

Menurut Snouck, lapisan pribumi yang berkebudayaan lebih tinggi relatif jauh dari pengaruh Islam.

Sedangkan pengaruh Barat yang mereka miliki akan mempermudah mempertemukannya dengan pemerintahan Eropa.

Snouck optimis, rakyat banyak akan mengikuti jejak pemimpin tradisional mereka.

Menurutnya, Islam Indonesia akan mengalami kekalahan akhir melalui asosiasi pemeluk agama ini ke dalam kebudayaan Belanda.

Dalam perlombaan bersaing melawan Islam bisa dipastikan bahwa asosiasi kebudayaan yang ditopang oleh pendidikan Barat akan keluar sebagai pemenangnya.

Apalagi, jika didukung oleh kristenisasi dan pemanfaatan adat.

Aqib Suminto mengupas beberapa strategi Snouck Hurgronje dalam menaklukkan Islam di Indonesia,

“Terhadap daerah yang Islamnya kuat semacam Aceh misalnya, Snouck Hurgronje tidak merestui dilancarkan Kristenisasi.

Untuk menghadapi Islam ia cenderung memilih jalan halus, yaitu dengan menyalurkan semangat mereka ke arah yang menjauhi agamanya (Islam) melalui asosiasi kebudayaan.” 

     

Saya memposting ini bukan bermaksud untuk tidak menghargai perjuangan R.A. Kartini.

Namun semata-mata untuk membuka mata kita bersama agar lebih terbuka terhadap sejarah, kebenaran dan perjuangan para pejuang lain yang patut kita apresiasi juga.

Agar kita lebih paham sejarah dan kebenaran serta mengetahui bahwa pejuang-pejuang perempuan Indonesia sangat banyak jumlahnya.


Apakah tanggal 21 April masih relevan dijadikan hari untuk memperingati penokohan R.A. Kartini oleh Belanda sebagai ikon emansipasi perempuan Indonesia?

Silahkan anda menjawabnya sendiri. :)





[Referensi: Adian Husaini - Catatan Akhir Pekan (CAP), hidayatullaah.com, Prof. Naquib al-Attas-Islam dalam Sejarah dan Kebudayaan Melayu, Kartini - Surat-surat kepada Ny. R.M. Abendanon-Mandri dan Suaminya]