| Home | Book-Literature | Inspiring-Religion | Economy-Business | Social-Cultural-Languange | Politics-Conspiracy | Health-Sport | Music-Movie | Femininity-Parenting |

Monday 10 August 2015

ANTARA LGBT DAN SSA




“Ubahlah caramu berfikir, maka duniamu juga akan berubah.”
(Norman Vincent Peale)

     Lesbian, Gay, Bisexual, Transgender (LGBT) menjadi isu hangat akhir-akhir ini. Khalayak mulai resah dengan fenomena pernikahan sesama jenis yang telah dilegalkan di berbagai negara. Salah satunya pelegalan pernikahan sesama jenis yang dilakukan pengadilan Amerika Serikat. Pelegalan pernikahan sesama jenis banyak menimbulkan pro dan kontra di berbagai belahan dunia, termasuk Indonesia. Masyarakat Indonesia ada yang mendukung LGBT namun ada pula yang menentang pelegalan nikah terhadap kelompok tersebut.

PERBEDAAN LGBT DENGAN SSA
     Berbeda dengan kebanyakan orang yang ribut soal pro dan kontra LGBT (Lesbian, Gay, Bisexual, Transgender), Agung Sugiarto, aktivis Lembaga Peduli Sahabat, justru menyikapinya secara berbeda. Melalui Peduli Sahabat, beliau berusaha memberi solusi bagi orang dengan Same Sex Attraction (SSA) yang ingin hidup di jalan agama dan adat setempat. Penulis buku “Anakku Bertanya tentang LGBT” dengan nama pena Sinyo Egie ini, mengatakan LGBT dan SSA merupakan dua hal yang berbeda meski dapat dikatakan berkaitan. Jika LGBT adalah identitas seksual maka SSA adalah orientasi (ketertarikan) seksual. SSA yang dimiliki seseorang bisa dianggap sebagai pemberian sekaligus ujian dari Yang Maha Kuasa.
Orientasi seksual dan identitas sosial tentu saja berbeda. LGBT adalah identitas sosial; semacam penerimaan diri, pencitraan, aktualisasi diri yang hadir sebagai lawan dari identitas Heteroseksual. Sedangkan SSA adalah orientasi seksual sesama jenis. Misalnya ada orang yang mempunyai SSA dan pernah melakukan tindakan seks sesama jenis tetapi dia tidak ingin menjadi LGBT maka kita tidak bisa menyebutnya LGBT. Masih banyak orang SSA yang tidak ingin menjadi LGBT, dia ingin hidup secara identitas Hetero seperti yang ada dalam agama atau adat setempat.

“Orang SSA belum tentu menjadi LGBT, namun orang yang LGBT sudah pasti termasuk SSA,” tegas Sinyo.

Mentor parenting dan dunia anak-anak yang akrab disapa Sinyo ini, menyampaikan jika ada niat orang dengan orientasi seks sesama jenis (SSA) dapat memilih identitas Heteroseksual dari pada memilih identitas Homoseksual atau LGBT. Sinyo menambahkan bahwa orientasi seksual dapat berubah tergantung situasi dan kondisi seseorang.
“Kita tidak boleh mengenalisir bahwa orang SSA tidak bisa berubah orientasi seksnya begitu juga dengan yang heteroseksual. Sebab jiwa seseorang itu tidak bisa disamakan antara satu dengan yang lain. Jiwa bukan ilmu pasti seperti matematika, karena jiwa masing-masing orang itu membawa pengalaman masing-masing,” jelasnya.

“Jiwa kitalah diri kita yang sesungguhnya, bukan tubuh fisik yang bisa ditunjuk dengan jari.”
(Cicero)

PEMICU SSA (SAME SEX ATTRACTION)
     Peduli Sahabat bukan hanya memberi pendampingan tentang menjalani hidup dengan baik meski mempunyai ketertarikan dengan sesama jenis (SSA) tetapi juga edukasi. Salah satunya tentang sebab yang menjadi pemicu seseorang mempunyai SSA.
Berdasarkan data klien Peduli Sahabat sejak 2008, terdapat tiga pemicu utama seseorang mempunyai SSA, yaitu:
1. Pemaksaan dalam mengambill role model yang salah
    Misalnya seorang anak laki-laki mengambil peran dari ibunya, atau sebaliknya, perempuan mengambil peran dari ayahnya. Pemaksaan ini disebabkan oleh beberapa hal seperti broken home, ketidakharmonisan keluarga, dominasi ibu, dominasi ayah, kekerasan rumah tangga, dll.
2. Over protective (terlalu dimanja atau terlalu dilindungi)
    Biasanya terjadi pada anak bungsu, tunggal, satu-satunya jenis kelamin dalam keluarga, anak istimewa (misalnya paling ganteng atau paling cerdas), atau anak dari keluarga broken home (dibesarkan oleh salah satu orang tua/ single parent).


“Membesarkan keluarga haruslah dianggap sebuah petualangan, bukannya disiplin berlebihan, tempat semua orang terus menerus dinilai dari perilaku mereka.”
(Milton R. Sapirsten)

3. Salah mengambil role model secara sukarela
     Berbeda dengan nomor satu, situasi dan kondisi anak diberi kebebasan memilih model sendiri, biasanya kedua orang tua sibuk kerja dengan materi berlimpah atau anak yatim-piatu. Jadi bisa saja secara hubungan keluarga harmonis tapi anak-anak dibiarkan memilih model tanpa diberi contoh atau pemberitahuan.

Semua pemicu itu terjadi pada masa Balita (usia di bawah lima tahun). Dalam perkembangannya akan mengalami penguatan. bisa jadi karena trauma jiwa seperti pelecehan seksual pola pengasuhan anak, atau yang lain. Kebanyakan hal ini terjadi di atas Balita.

“Anak-anak lebih membutuhkan teladan dan contoh, bukan kritik dan celaan.”
(Jouseph Joubert)

Nah, dengan begini para orang tua atau calon orang tua dapat mengambil pelajaran untuk mendidik anak dengan baik dan benar. Bagaimana menciptakan kondisi dimana anak merasa cukup, sejahtera, dalam hal ini kebutuhan atau hak-hak anak terpenuhi. Hak-hak atau kebutuhan apa sajakah itu?
1. Kebutuhan akan keamanan, ketenangan (perlindungan)
2. Kebutuhan fisik (misal: sandang, pangan, papan)
3. Kebutuhan emosional (misal: kasih sayang, perhatian)
Situasi dan kondisi keluarga serta lingkungan terdekat (misal: teman, tetangga, tempat bermain, sekolah) yang kondusif akan mendukung pertumbuhan dan perkembangan anak secara sehat.

“Dalam keluarga yang bahagia, semua anggotanya merasakan hal yang sama. Dalam keluarga yang sangat tidak bahagia, anggota-anggotanya punya kesedihan masing-masing.”
(Leo Tolstoy)

MENGUBAH ORIENTASI SEKSUAL
     Apakah orientasi seksual dapat berubah? Jawabnya bisa saja namun semua itu tergantung situasi dan kondisi seseorang.
Beberapa sahabat kita yang menjadi narasumber di Peduli Sahabat misalnya, dapat menjalani hidup sebagai orang dengan identitas Heteroseksual (menikah dengan lawan jenis, mempunyai anak, dll.) berdasarkan agama serta adat setempat.
“Di Peduli Sahabat, ada empat narasumber yang berhasil mengubah orientasi seksualnya,” ungkap Sinyo.
“Hampir sama dengan pecandu rokok, kalau dia mempunyai niat yang kuat untuk mengubah maka bisa diubah walau perlu waktu bahkan sampai wafat, sebaliknya jika niatnya lemah apalagi tidak mempunyai niat untuk berubah maka selamanya ia tidak bisa berubah,” lanjutnya.   
Tiga orang narasumber awalnya adalah individu dengan SSA kemudian menjadi heteroseksual. Sedangkan satu orang narasumber dari heteroseksual menjadi SSA kemudian berbalik lagi menjadi heteroseksual. Yang menarik di sini, seorang hetero pun dapat berubah menjadi SSA. Hal ini mengingatkan kita pada kaum di jaman Nabi Luth. Maka semua kemungkinan dapat terjadi, bukan?

     Metode yang digunakan Peduli Sahabat adalah metode dari empat narasumber yang telah berhasil mengubah orientasi seksualnya. Menurut metode tersebut ada beberapa tahapan agar mereka bisa mandiri.
“Kami biasanya memberikam 2 pilihan bagi mereka yang mau berubah. Pertama, proses perubahan bisa dilakukan bersama Peduli Sahabat dengan metode pendampingan. Kedua, dapat dilakukan sendiri dengan melihat tahapannya di buku ‘Anaku Bertanya tentang LGBT’,” tutup Sinyo.


Peran Peduli Sahabat adalah memberikan pendampingan kepada:
1. Individu non-heteroseksual yang ingin hidup di jalan agama dan adat setempat.
2. Keluarga (orang tua, anak, atau saudara kandung) yang bingung menyikapi keluarganya yang memiliki SSA.
3. Suami atau istri yang pasangannya memiliki SSA.
So, bagi sahabat yang peduli terhadap isu SSA dan LGBT, atau memiliki kecenderungan SSA silahkan bergabung di Peduli Sahabat.





[Sumber: Islampos, Group Peduli Sahabat, Rubrik Psikologi TVRI, dan sumber lain]