| Home | Book-Literature | Inspiring-Religion | Economy-Business | Social-Cultural-Languange | Politics-Conspiracy | Health-Sport | Music-Movie | Femininity-Parenting |

Thursday 12 March 2015

JUGUN IANFU

Pada masa penjajahan jepang yaitu pada tahun 1942-1945 banyak gadis pribumi yang diculik dan kemudian dijadikan budak seks oleh para tentara jepang. Mereka yang dikenal dengan sebutan Jugun Ianfu itu telah diperkosa dan dipaksa tinggal di barak-barak tentara jepang Ian-Fo selama bertahun-tahun.

Perang Dunia II memang sudah berakhir sangat lama namun ternyata warisan kepahitan masa silam masih dirasakan ribuan perempuan di Indonesia yang dijadikan budak seks pada masa itu. Sekarang kita tidak lagi berperang melawan Jepang namun para mantan Jugun Ianfu itu masih terus berjuang untuk mendapatkan hak hidupnya yang telah terampas dan terkoyak.
Beralasan jika mereka terus berjuang sebab perempuan itu terus menanggung derita yang tidak berujung meskipun mereka sudah sangat renta. Di barak-barak tentara Jepang, mereka mengalami kekerasan seksual. Banyak juga diantara Jugun Ianfu itu yang masih berusia 13 tahun, mereka dipaksa melayani hasrat seksual tentara Dainippon.
Itu semua merupakan catatan kelam dalam sejarah perempuan Indonesia. Sudah lama mereka menuntut pemerintah Jepang memberikan ganti rugi atas penderitaan mereka tapi entah sampai sekarang apakah tuntutan itu telah dikabulkan?

Tahun 1942 tentara Jepang masuk ke Indonesia. Mereka menyebar ke seantero nusantara.
Ketika sedang berjalan-jalan di suatu siang, Emah Kastimah bertemu dengan tentara Jepang. Dia lalu dibawa ke rumah orangtuanya. Tentara Jepang bertemu dengan ibunya dan mengatakan bahwa Emah mau dipekerjakan. Waktu itu emah tidak tahu mau dipekerjakan sebagai apa. Tentara Jepang lalu membawanya ke sebuah tempat. Dia diminta menunggu tanpa kejelasan menunggu apa.
Setelah itu dia dimasukkan ke sebuah bangunan berupa rumah yang dibangun semasa Belanda. Temboknya kekar, kusen dan pintunya tinggi-tinggi sekitar dua meteran. Di rumah tersebut sudah berkumpul perempuan pribumi yang tidak satupun dikenalnya.
Di rumah inilah Emah dipaksa menjadi Jugun Ianfu dan harus melayani nafsu seks tentara Jepang dan para sipir. Mengetahui Emah dijadikan budak seks tentara Jepang, ibu dan bapaknya menangis.
Usia Emah 80 tahun ketika datang di acara Kick Andy (Metro TV). Dia masih ingat betul di mana dia dulu disekap di sebuah rumah di Bandung. Kepada tim Kick Andy, Emah menunjukkan sebuah bangunan tua di jalan tersebut. Di rumah inilah Emah mengalami penderitaan yang sangat dalam. “Saya dipaksa melayani tentara Jepang tanpa mengenal waktu. Kalau malam hari orang-orang berpangkat. Kalau pagi sampai sore giliran yang lain”, katanya.

Penderitaan yang begitu panjang juga dialami Mardiyem. Saat dijadikan Jugun Ianfu usianya baru 13 tahun (belum menstruasi), Mardiyem dipaksa tentara Jepang untuk melayani rekan-rekan mereka.
Pada mulanya Mardiyem juga tidak tahu bahwa dirinya akan dijadikan budak seks tentara Jepang. Waktu itu, tahun 1942 dia tinggal bersama orangtuanya di Yogyakarta. Begitu tentara Jepang menyerbu, dia dibawa ke Telawang, Kalimantan. Setibanya di kota itu, dia dimasukkan ke kamar, disuruh berdandan. Setelah itu dibawa ke rumah sakit militer. Ketika dijebloskan ke kamp, sudah ada 24 orang yang menunggu melampiaskan hasrat seksualnya. Pada hari pertama sejak pagi hingga pukul 14.00 Mardiyem sudah melayani enam orang tentara Jepang. Mereka sadis, darah mengalir dari vaginanya, namun tentara Jepang tidak peduli. Mardiyem cuma bisa berpikir dalam hati seraya menangis.
Mardiyem sempat berpikir bahwa tidak lama lagi dia pasti mati. Melawan kematian, Mardiyem berontak, dengan sekuat tenaga menendang tentara yang melampiaskan nafsu seksnya ke tubuhnya yang rapuh. Tapi dalam posisi seperti itu Mardiyem juga sempat bertekad lebih baik mati dari pada hidup diperlakukan seperti itu.
Tuhan belum menghendaki dia mati. Mardiyem terus berjuang menuntut pemerintah memberikan ganti rugi atas masa lalunya yang kelabu hingga ke negeri Belanda.

Dalam memperlakukan perempuan-perempuan yang dijadikan budak seks itu, tentara Jepang punya sistem dan prosedur. Untuk bisa memakai Jugun Ianfu, tentara Jepang harus membeli tiket seharga 2,5 yen untuk tentara dan 3,5 yen untuk sipir. Pada malam hari para Jugun Ianfu menjadi haknya tentara dengan pangkat tinggi.
Para Jugun Ianfu memang mendapat bayaran berupa kupon. “Tetapi saya tidak pernah dapat uang yennya,” kata Mardiyem. Para perempuan itu baru dikembalikan ke kampung halamannya setelah (menurut istilah Mardiyem) jebol atau vaginanya tidak bisa dipakai (rusak) atau Jugun Ianfu hamil.
Bagaimana kalau menolak melayani? “Kalau tidak mau melayani saya dihajar, dipukul dan dibanting”, jawab Mardiyem. Ketika usia 15 tahun Mardiyem hamil. Tentara jepang lalu membawanya ke rumah sakit Ulin. Astaghfirullaah... di rumah sakit ini, dengan kawalan tentara jepang, kandungannya digugurkan dengan cara perutnya ditekan-tekan sampai janin keluar. Sebulan setelah itu Mardiyem dipaksa melaksanakan tugasnya lagi sebagai Jugun Ianfu. Dia berusaha menolak tapi apa lacur. “Saya dihajar habis-habisan,” kata Mardiyem pada Andy. Saat tampil di Kick Andy Mardiyem berusia 78 tahun.

Tahun 1945 merupakan tahun berkah bagi Mardiyem, tentara Jepang akhirnya hengkang dari Indonesia. Waktu itu Mardiyem pergi ke Kapuas lalu ke Banjarmasin. Di kota ini dia bertemu dengan laki-laki asal Yogyakarta bernama Mingun. Mingun bekas tawanan Jepang. Mardiyem menikah dengannya meskipun mengaku sudah tidak bisa jatuh cinta lagi. “Yang saya butuhkan darinya hanya kasih sayang layaknya kasih sayang orangtua kepada anak. Selisih usia Mingun dan saya 22 tahun. Dia baik sekali, menurut dan tidak pernah menyinggung masa lalu saya,” katanya.

Sementara itu Emah kembali ke kampung halamannya di Jawa Barat setelah Jepang menyerah. Dia kemudian menikah. Namun perjuangan Emah dan Mardiyem belum selesai. Keduanya menuntut agar nasibnya diperhatikan pemerintah Jepang.

Di Belanda, Mardiyem memberikan kesaksian di Pengadilan Internasional Perbudakan Militer Jepang. “Ketika mereka tahu saya hamil lima bulan, dengan dikawal militer jepang, saya dibawa ke rumah sakit Ulin. Saya diaborsi dengan cara ditekan paksa.” Begitu antara lain kesaksian Mardiyem.
Tuntutan lain Mardiyem, pemerintah Jepang hendaknya mengaku salah dan minta maaf atas kesalahan yang pernah dilakukan, terutama terhadap para Jugun Ianfu. “Pemerintah Jepang dan Indonesia harus jelaskan kepada publik khususnya generasi muda. Sebab mereka tahunya kami hanya pelacur. Karena mereka memang belum paham,” katanya.

Menurut Nursyahbani, pemerintah Jepang menolak memberikan kompensasi secara resmi untuk para Jugun Ianfu. Pemerintah Jepang menyatakan bahwa kompensasi yang diberikan lewat ASEAN Women Fund sebagai usaha kerohiman yang diterima masing-masing negara yang warganya dijadikan Jugun Ianfu sudah cukup. Nursyahbani menganggap pemerintah Jepang belum memberikan kompensasi apapun menyangkut ulah tentara Jepang pada Perang Dunia II yang menjadikan perempuan di sejumlah negara sebagai budak seks.
Selain Indonesia, perempuan yang juga dijadikan budak seks tentara Jepang adalah Belanda, Filipina, Korea Selatan, Korea Utara, Thailand, dan China. Berdasarkan keputusan Pengadilan Internasional di Den Haag, Belanda pada bulan Desember 2000, uang kompensasi memang diberikan oleh Jepang namun yang menerimanya adalah pemerintah Indonesia dan uang itu dipakai untuk membangun panti jompo.

Menurut Eka Hindrati, aktivis jaringan Jugun Ianfu, pengadilan negeri Batavia pada 1946 sudah memutuskan memberikan hukuman kepada tentara Jepang yang memaksa perempuan Belanda menjadi Jugun Ianfu, tapi hukuman itu tidak menyangkut kasus Jugun Ianfu dari Indonesia. Setelah itu, Pengadilan Internasional Militer Timur Jauh di Tokyo juga memberikan putusan berupa hukuman untuk para tentara Jepang yang bertindak brutal, tapi itu tidak ada kaitannya dengan Jugun Ianfu.
Eka Hindrati menyatakan akan tetap berjuang demi rasa keadilan bagi para Jugun Ianfu. “Sebab Jepang sampai sekarang belum bertanggung jawab secara politik untuk minta maaf dan memberikan kompensasi. Kompensasi yang kami maksud bukan karena para Jugun Ianfu minta dibayar karena dulu tidak dibayar tapi lebih menyangkut keadilan,” katanya.
Beralasan jika Eka Hendrati mengungkapkan tekad seperti itu, sebab Pengadilan Internasional di Denhaag Belanda memutuskan bahwa pemerintah Jepang bersalah dan diwajibkan memberikan ganti rugi kepada para mantan Jugun Ianfu di masa Perang Dunia II.

Bahwa pemerintah Jepang harus bertanggung jawab bisa disimak dari pengakuan dua mantan tentara jepang yang pada tahun 1942-1945 ditugaskan di negara jajahannya. Salah seorang diantaranya memberikan pengakuan seperti ini:
Saya datang pertama kali ke sana pada 1943. Tempatnya di area Linqing. Waktu itu kami menganggapnya betul-betul sebagai rumah bordil. Di penampungan kami harus membayar sedangkan memperkosa tidak perlu.”
Mantan tentara ini juga mengaku pernah memperkosa pada tahun 1943 saat dia dan kawan-kawannya menyerbu sebuah desa. “Seseorang dari kami menarik gadis berusia 21 atau 22 tahun. Kami berenam saling mengundi siapa yang pertama, lalu satu persatu kami memperkosanya.”
Mantan tentara lain memberikan kesaksian bahwa di dunia militer perkosaan adalah sesuatu yang wajar sama halnya dengan bertempur.

Bukan hanya mantan Jugun Ianfu asal Indonesia yang berjuang menuntut keadilan dan kompensasi, para Jugun Ianfu asal Korea Selatan pun juga demikian. Kim Moon Hwan, periset Jugun Ianfu Korea mewakili pemerintah Korea Selatan merasa perlu datang ke Indonesia untuk melacak keberadaan mantan Jugun Ianfu asal Korea Selatan yang kemungkinan masih ada di Indonesia. Menurut dia pada 1942-1945 ada ratusan Jugun Ianfu asal Korea yang pernah tinggal di Indonesia. “Saya dengar ada yang tinggal di Pontianak. Kalau ketemu kami akan meluruskan sejarah,” katanya di Kick Andy.
Jika pemerintah Korsel berjuang seperti itu sungguh amat disayangkan jika pemerintah Indonesia menjadikan dana kompensasi yang pernah diterimanya diserahkan ke panti jompo. Kenyataan seperti inilah yang disayangkan aktivis koalisi perempuan Indonesia Diyah Bintarini.
Mardiyem sendiri ketika ditawari apakah mau tinggal di panti jompo, dengan tegas menolak. “Di panti jompo memang enak bisa makan gratis, diberi pakaian bagus, tapi saya tidak mau. Saya akan berjuang sampai titik darah pengahbisan,” kata Mardiyem. [Sayang perjuangan Mardiyem akhirnya kandas. Pada akhir 2007 Mardiyem menutup usia selama-lamanya. Perempuan ini tidak sempat menikmati perjuangannya yang panjang dan melelahkan itu.]
Hal yang sama juga diungkapkan Emah, “Lebih enak tinggal di rumah sendiri”.
Sedangkan titik darah penghabisan benar-benar telah dialami Suhanah. Ketika berusia 14 tahun Suhanah diculik tentara Jepang lalu diperlakukan layaknya seorang pelacur.
Perempuan asal Cimahi, Jawa Barat itu tanggal 17 Maret 2006 meninggal dunia setelah mengalami pendarahan dalam keadaan stress berat. Rahimnya mengalami pendarahan di usia 80 tahunan.
Bersama Mardiyem dan Emah, Suhanah juga memberikan kesaksian di Pengadilan Internasional Perbudakan Seksual Jepang pada bulan Desember 2000. Di sidang internasional itu dia berharap pemerintah jepang meminta maaf kepada dirinya.
Yang menyedihkan, Suhanah pernah dikucilkan warga desa, ada yang bilang dia bekas pelacur. Suhanah menikah dua kali. Yang pertama berakhir dengan perceraian karena mertuanya mengetahui Suhanah bekas Jugun Ianfu. Setelah itu Suhanah menikah lagi hingga dia meninggal dunia.





[Referensi: Kick Andy Kumpulan Kisah Inspiratif (Menonton dengan Hati)]

No comments:

Post a Comment