| Home | Book-Literature | Inspiring-Religion | Economy-Business | Social-Cultural-Languange | Politics-Conspiracy | Health-Sport | Music-Movie | Femininity-Parenting |

Sunday 29 May 2016

PENILAIAN YANG SALAH TERKAIT EMANSIPASI PEREMPUAN, KESETARAAN GENDER DAN FEMINISME


Apakah teman-teman pembaca sudah membaca postingan saya sebelumnya yang berjudul

  
Mungkin ada beberapa di antara pembaca setuju dengan tanggapan sejarawan yang saya paparkan di postingan tersebut?

Dan mencoba berfikir ulang atau mencari-cari lagi tentang profil dan peran Kartini atau perempuan Indonesia lainnya?

Siapa sebenarnya yang layak disebut sebagai tokoh emansipasi perempuan Indonesia yang sesungguhnya?

Berapa perempuan inspiratif, yang peduli dan berjuang demi nasib perempuan Indonesia yang lebih baik, yang dapat anda tahu atau temukan? Berapa yang banyak dipublish di media?

Ataukah anda merasa tanggapan-tanggapan tersebut terlalu berlebihan atau dibuat-buat?

“Ya sudahlah, akui saja Kartini berjasa. Apa lho yang telah kita lakukan?”

Namun tak sedikit pula yang tak peduli dengan sejarah atau kondisi perempuan Indonesia di negeri ini.

“Ya sudah terima saja, sudah takdirnya perempuan begini. Tidak usah capek-capek berfikir dan berjuang untuk kesetaraan perempuan. Perempuan sampai kapanpun tidak akan bisa menyamai laki-laki.”

Beberapa dengan keras berkata ingat kodrat perempuan. Apa kamu ingin melawan kehendak tuhan? Apa kamu tak menghargai adat atau budaya yang mulia yang harusnya dijunjung tinggi-tinggi?

Isu terkait perjuangan perempuan, emansipasi, kesetaraan gender, feminisme masih menjadi isu yang penting dan mengundang kontroversi.

Hal ini karena istilah-istilah tersebut sering dibenturkan pada agama, adat, budaya, hukum dan lain sebagainya. Setiap orang mempunyai persepsi masing-masing dalam hal ini.


Saya tidak terlalu ingat siapa yang dimaksud dan apa yang dikatakan teman saya tentang feminisme.

Namun yang jelas dari yang diutarakannya dia berpendapat bahwa feminisme itu bertentangan dengan agama (dalam kasus ini agama Islam).

Teman saya itu saya anggap mempunyai pengetahuan dan pemahaman yang lebih tentang agama dari pada saya. Saat itu saya masih mahasiswa baru.

Saya belum mengerti tentang feminisme yang sebenarnya. Karena sejak awal sudah dicekoki bahwa ide feminisme itu menyalahi kodrat, berlawanan dengan agama maka saya sedikit banyak terpengaruh.

Saya tidak lagi membicarakannya, karena saya sendiri mempunyai prinsip saya akan bicara jika saya tahu dan paham. Jika tidak saya lebih memilih diam, dari pada salah.

Padahal dalam fikiran dan hati saya selalu tertarik dengan gagasan kesetaraan dan berbagai macam isu terkait perempuan.

Saya juga penasaran kenapa beberapa orang aktivis atau kelompok Islam saat itu sangat menentang RUU Kesetaraan dan Keadilan Gender (RUU KKG 2011). Beberapa diantaranya adalah teman organisasi saya.

Bukankah RUU tersebut dibuat untuk memperjuangkan kepentingan dan kebaikan kita juga para perempuan, fikir saya.

Namun kelompok aktivis Islam yang anggotanya juga termasuk perempuan ini mengusung agama Islam sebagai dasar,

dan mengatakan bahwa beberapa isi atau ide pemikiran/ perjuangan dibalik pembuatan RUU KKG tersebut menyalahi kodrat atau bertentangan dengan agama Islam.

Jujur saya sendiri bingung.
Beberapa ayat atau pasal yang telah diberi tanda, saya tidak tahu teman saya atau orang lain yang menandainya.

Saya baca tentang isi, substansinya, tidak salah saya fikir, tidak bertentangan dengan Islam menurut saya. Meski saya belum membaca seluruhnya.


Gender refers to the socially constructed characteristics of women and men – such as norms, roles and relationships of and between groups of women and men. It varies from society to society and can be changed. (www.who.int)

Menurut Wikipedia (https://id.wikipedia.org/);

Gender dalam sosiologi mengacu pada sekumpulan ciri-ciri khas yang dikaitkan dengan jenis kelamin seseorang dan diarahkan pada peran sosial atau identitasnya dalam masyarakat.


Sering kita dengar bahwa salah satu kemulian Islam adalah memuliakan perempuan. Mereka para aktivis islam ini tentu setuju dengan itu.

Namun mengapa mereka merasa terusik ketika ada yang berjuang agar RUU Kesetaraan dan Keadilan Gender tersebut berhasil disahkan?

Padahal salah satu tujuan dari berhasilnya pengakuan kesetaraan dan keadilan gender, salah satunya dengan adanya dan diterapkannya UU KKG, tentu untuk memuliakan perempuan bukan?

UU Kesetaraan dan Keadilan Gender diperjuangkan untuk meminimalisir dan mencegah terjadinya perlakuan tidak adil berdasarkan gender, baik itu terhadap perempuan maupun laki-laki.

Ingat bahwa kesetaraan dan keadilan gender tidak hanya untuk perempuan namun juga laki-laki.

Saya justru berfikir betapa bodohnya kita jika kita membiarkan diri kita diperlakukan tidak adil atau diskriminatif.

Lebih bodoh lagi jika ada yang membela dan memperjuangkan hak-hak kita, kita malah menolaknya dan melawannya.

Apalagi dengan dalih agama atau kepercayaan. Bukankah agama Islam samgat menentang penindasan?

Coba dilihat lagi, bukankah perempuan-perempuan Islam pada masa lampau, bahkan pada masa Rasulullaah Muhammad SAW juga berjuang, tak kalah dengan laki-laki, dan melakukan emansipasi?

Sebut saja Khadijah, istri Rasulullaah adalah seorang janda dan pedagang sukses.

Kemudian putri dari Abu Bakar bahkan ikut serta saat masa-masa perang Rasulullaah (beserta sahabat dan muslimin) melawan arab jahiliyyah kala itu.

Bahkan orang yang pertama kali syahid demi mepertahankan keimanan dan keislamannya adalah seorang perempuan. Beliau disiksa (sampai mati) agar keluar dari agamanya.

Di kerajaan Aceh juga pernah dipimpin oleh seorang sultanah (sultan perempuan). Beliau seorang yang pemberani, tegas dan keras terhadap penjajah.

Bahkan sultanah menerapkan ajaran-ajaran Islam pada pemerintahannya. Beliau dikenal dengan nama Sultanah Safiatudin Tajul ‘Alam yang berarti kemurnian iman, mahkota dunia.

Ada pula laksamana perempuan pertama yang berasal dari Aceh. Beliau mendapat gelar laksamana karena perjuangannya untuk melawan penjajahan.

Masih dari Aceh, Tjoet Nja’ Dhien adalah sosok pahlawan perempuan yang berani mengangkat senjata demi melawan penjajahan. Beliau juga mendapat julukan “Ibu Perbu” karena ahli dalam ilmu agama.

Selain itu ada Rohana Kudus, pejuang emansipasi yang berjuang agar seluruh masyarakat mempunyai kesempatan yang sama dalam memperoleh pendidikan.

Rohana adalah seorang pelopor/ pionir jurnalis perempuan, pendidik, juga pebisnis.

Apakah mereka menyalahi kodratnya sebagai perempuan?
Apakah mereka menentang tuhan atau ajaran agamanya?

Mereka beraksi dan bereaksi keras karena ada penindasan, ketidak adilan, diskriminasi, merasa terdzolimi, atau untuk bertahan hidup. Serta karena mendapat amanah yang harus dijalankan.

Mereka berjuang bukan hanya untuk dirinya sendiri (selfish/ berdasarka ego) namun untuk kondisi yang lebih baik, hidup yang lebih layak, beradab, berilmu, dan bermartabat.

Manusia tentunya ingin diperlakukakan manusiawi. So, berperilakulah dengan manusiawi.
Apakah itu salah?


Saya kadang berfikir, apakah sebegitu parahnya mental kita sebagai bangsa yang terjajah?

Hal ini kadang yang menjadi pembenaran atau pembelaan atas tindakan kita yang "nrimo/ nriman" dengan tindakan yang semena-mena, merendahkan terhadap kita,

sehingga kita sendiri yang membuat diri kita seakan tak berdaya, tak penting, dinomorduakan atau hanya sebagai pelengkap?

Kenapa saya berkata demikian?

Karena jika saya perhatikan, memang budaya di masyarakat, mengenai penuturan cerita, sudut pandang, cara bersikap dan berdampak pada tindakan yang mengkerdilkan peran dan sosok perempuan.


Misalnya saja, manusia pertama di dunia ini adalah Adam dan Hawa (Eve) diciptakan tuhan untuk “menemani” Adam.

Kita selalu diajarkan bahwa yang penting adalah Adam, dan Hawa “hanyalah” sebagai teman atau pelengkap Adam.

Hawa juga disalahkan karena dianggap sebagai penyebab diturunkannya Adam dari surga. Hawa dianggap sebagai penggoda.

Begitupun akhirnya muncul stigma bahwa perempuan secara umum adalah penggoda dan pendosa?

Kenapa pendosa? Karena perempuan adalah yang banyak menghuni neraka. Terlepas dari ini benar atau tidak, karena kita belum mengalaminya. Namun ini diajarkan dalam Islam.

Saya tidak mengatakan bahwa ajaran agama Islam tersebut salah. Saya hanya berfikir apakah penafsiran, penyampaian dan penggunaan/ penempatannya sudah tepat?

Yang menjadi permasalahan adalah ketika bagaimana orang-orang yang berdakwah (pendakwah) ini dalam menceritakan atau menjelaskannya (yang menurut saya) merendahkan kaum perempuan.

Apakah hal tersebut memang ditujukan demikian atau secara tidak sadar atau tidak sengaja, saya kurang tahu.

Orang yang mendapat sebutan da’i, ustadz atau guru ini kebanyakan tentu saja laki-laki. Meski ada beberapa juga perempuan, yang secara tak sadar menganjurkan perempuan untuk selalu diam dan mengalah.

Jadi di sisi lain mereka mengatakan bahwa Islam sangat memanusiakan perempuan namun kenyataannya mereka dalam cara berfikir, ucapan, sikap dan tindakan tidak menunjukkan hal tersebut.


Perempuan dianggap seperti barang atau perhiasan, baju, selimut dan ladang?

Ini memang hanya bahasa kiasan (analogi) dan mungkin dapat berarti sebagai pujian,

namun sebutan-sebutan yang disematkan tersebut menjadikan perempuan tidak dianggap sebagai manusia dan diperlakukan kurang manusiawi.

Seakan bukan hal aneh jika perempuan merasa direndahkan, selalu disalahkan, tidak dilindungi, tidak dipenuhi hak-haknya, namun selalu dituntut melaksanakan semua kewajibannya.

Mereka kurang dihargai sebagai sosok individu yang utuh yang mempunyai perasaan, fikiran dan keinginan, serta juga mempunyai kepribadian yang unik; sebagaimana laki-laki.

Mereka bahkan terkadang harus menanggung beban dan tanggung jawab yang lebih berat dari perempuan pada umumnya di lingkungannya.

Namun perempuan sering disalahkan dengan kondisi tersebut, alih-alih mendapat simpati dan empati serta dukungan dan bantuan.

Memang sulit jika sejak awal kondisinya sudah seperti itu.
Maksud saya, merubah paradigma, cara berfikir (the way you think) dan cara hidup (the way of life), itu tidak mudah.

Bahkan hal ini terjadi pada diri kita secara tidak sadar, samar-samar namun kita dapat merasakanya dan memikirkannya kemudian akan menyadarinya.

Seperti saat saya menulis ini, ada rasa takut. Takut apakah saya tidak salah menulis? Apakah tidak apa-apa saya berpendapat seperti ini? Bagaimana tanggapan orang-orang yang membaca tulisan saya?

Utamanya orang-orang yang menolak ide/ gagasan tentang kebebasan berpendapat (meski hal ini telah dilindungi undang-undang),

kesetaraan dan keadilan gender, feminisme, atau yang tidak setuju dengan pendapat atau cara berfikir saya.

Yang mendukung hal ini dan paham akan isu tersebut, bisa saja mereka menganggap saya sok tahu, padahal saya tidak tahu apa-apa? Mungkin.
Karenanya saya menuliskan rasa penasaran dan keingintahuan saya.

Siapa tahu akan ada orang yang dengan senang hati bersedia memberikan feedback melalui komentar di blog saya atau melalui email, bertukar pendapat, dan mendiskusikan hal ini lebih lanjut. J

Mungkin juga di antara pembaca hanya bisa mengumpat, mencibir tulisan saya dan menganggap saya kurang kerjaan?

Anggapan ini tidak sepenuhnya salah. (saya memang kurang kerjaan.:D)


Terkadang saya merasa menemukan adanya kontradiksi antara peran perempuan yang sebagai seorang ibu yang dipuja-puji sebagai sosok mulia, pendidik pertama dalam keluarga, surga bagi anak-anaknya;

namun di sisi lain mereka adalah istri yang tidak boleh membantah apa kata suami, tidak boleh lebih pintar dari suami, lebih kritis, lebih kuat, lebih mampu dari pada suami.

Padahal kondisi atau realita kehidupan sangat berbeda.
Terkadang suami tak mampu berperan sebagai kepala keluarga, misalnya, dan istri terpaksa harus mengambil alih peran tersebut.


Saya sering memperhatikan perempuan single dengan yang sudah berkeluarga sangat jauh perbedaannya.

Bukan hanya soal status atau tanggung jawab sebagai istri dan ibu, namun yang lainnya, cara bersikap dan dalam menghadapi suatu masalah.

Seorang perempuan yang telah menjadi ibu memang biasanya lebih dewasa dan penyayang dari pada sebelumnya.

Sebagai istri, perempuan akan lebih menjaga sikapnya, menahan amarahnya, keinginan dan mungkin pendapatnya.

Saya sering bertanya-tanya apakah dengan berkeluarga menjadikan perempuan tidak lagi bebas, merasa terkungkung, dikendalikan dan dikuasai?

Apakah perempuan merasa tidak bisa menjadi diri sendiri, tidak berani mengungkapkan pendapatnya, dan bahkan mengorbankan cita-citanya?


Perempuan sebagai seorang anak juga terkadang mendapat perlakuan yang berbeda (berbeda dalam arti tidak baik atau tidak adil/ diskriminasi) dibanding laki-laki.

Begitupun perempuan sebagai individu, di masyarakat, berpolitik dan status ekonomi, hukum, dan lain sebagainya.

Perempuan kerap dipandang sebelah mata, lebih rendah, lemah, kurang capable/ kompeten, mudah dikelabui, tidak punya prinsip, dan sifat lain yang dianggap kurang bagus atau kurang sempurna.

Jika perempuan berpendidikan rendah, berwawasan sempit, tidak berpenghasilan, kemudian direndahkan, dianggap wajar karena dia perempuan.

Jika laki-laki baru itu menjadi masalah. Hal ini bisa dengan alasan terkait dengan peran laki-laki sebagai kepala keluarga nantinya jika sudah berkeluarga.

Jika perempuan berpendidikan tinggi dan berpenghasilan tinggi dianggap hebat, luar biasa atau malah kebanyakan pria menjauh?

Terkadang perempuan tersebut atau orangtuanya dianggap berlebihan, terlalu "ngoyo".

Itu sedikit contoh nyata adanya diskriminasi berdasarkan gender.

Karenanya ide, gagasan, pemikiran, perjuangan dan gerakan dalam mewujudkan kesetaraan dan keadilan gender adalah suatu hal yang penting dan harus didukung.


Beberapa anak perempuan dalam keluarga mungkin pernah diperlakukan buruk, direndahkan, dari pada saudaranya yang laki-laki, ataupun sebaliknya.

Sejak kecil mereka dan/ atau kita sudah ditanamkan pemikiran-pemikiran tentang ketidaksetaraan dan ketidakadilan gender;

baik dari keluarga, lingkungan dekat, pendidikan umum, pendidikan agama, media, dan lainnya sehingga terwujud dalam sikap serta tindakan.

Agar ketidakadilan dan kekerasan tidak terjadi, salah satunya adalah dengan meluruskan kesalahkaprahan tersebut.

Dengan mengenalkan pemahaman gender yang benar dan tepat sejak dini serta mewujudkan kesetaraan dan keadilan gender akan dapat mencegah perilaku diskriminasi dan kekerasan berbasis gender.


Saya pernah membaca buku berjudul “Dari Penjara Taliban Menuju Iman”. Buku ini bercerita tentang kisah nyata Yvonne Ridley, wartawati Inggris yang ditahan oleh Taliban.

Selama menjadi tahanan Ridley diperlakukan sangat baik dan manusiawi, jauh dari kata bengis atau kasar seperti pada berita atau film yang dia ketahui tentang penggambaran terhadap tentara Taliban.

Ridley merasa kagum dengan perlakuan Taliban dan mulai mempelajari Islam. Singkat cerita, Ridley pun masuk Islam.

Ridley bahkan menjadi aktifis untuk memperkenalkan Islam dan meluruskan pemahaman yang salah tentang Islam di Barat (Eropa dan Amerika), di mana masih banyak Islamophobia di sana.

Yvonne Ridley juga merupakan seorang feminist.

Lalu saya berfikir saat itu, di mana letak kesalahannya?
Maksud saya, perempuan ini muallaf dan aktivis yang memperjuangkan agama Islam di negeri yang mayoritas penduduknya non muslim.


Apakah benar feminisme, emansipasi perempuan, serta gagasan dan perjuangan tentang kesetaraan dan keadilan gender salah di mata Islam?

Atau ini hanya kesalahpahaman, ketidaktahuan atau karena faktor sentimen negatif, sinisme dan fanatisme golongan?

Pertanyaan-pertanyan tersebut sudah lama saya abaikan/ pendam karena saya punya hal lain yang saya kerjakan dan fikirkan. Dan alasan utama karena saya tidak tahu harus bertanya pada siapa. :/

Kebanyakan dari teman saya tidak tahu isu ini, tidak mengerti atau tidak peduli.

Sebagian lagi adalah orang-orang yang menurut saya mengikuti tentang isu ini, namun mereka lebih mengutamakan kepentingan golongan mereka.

Saya tidak tahu mereka memang benar-benar mengerti tentang masalah ini atau hanya tahu dari orang-orang di atas mereka, rekan-rekan mereka, dan diajak untuk menentang isu ini?

Apakah mereka benar-benar bisa berfikir positif, open minded, multi perspective, berjiwa besar, atau justru digerakkan oleh kesetian buta terhadap golongannya?

Pertanyaan-pertanyaan dan keingintahuan saya tersebut menggangu ketenangan fikiran saya.


Lalu kemudian saat saya mencari informasi tentang organisasi masyarakat, keilmuwan; lebih khusus kemudian saya mencari organisasi perlidungan perempuan dan anak.

Bertepatan pula saat momen Hari Kartini tanggal 21 April.
Saya menemukan website Jurnal Perempuan, yang berjuang untuk pencerahan dan kesetaraan kaum marjinal, utamanya perempuan.

Hari berikutnya saya menemukan blog Catatan Mariana Amiruddin. Mariana Amiruddin adalah salah satu anggota dewan redaksi dari Jurnal Perempuan.

Di blognya beliau membahas diantaranya tentang Kartini, perempuan dan emansipasi. Sangat menarik. Beberapa telah menjawab pertanyaan saya tentang emansipasi perempuan dan kodrat.

Apa sih sebenarnya emansipasi itu?
Apakah emansipasi hanya untuk perempuan?
Apakah memperjuangkan emansipasi perempuan menyalahi kodrat?

Tulisan Mariana Amiruddin tentang emansipasi ini pernah dimuat di Majalah Esquire dan Jurnal Perempuan.

Emansipasi diambil dari bahasa Inggris emancipation”, sebuah istilah yang digunakan untuk menjelaskan sejumlah upaya untuk mendapatkan hak politik, derajat yang sama, dalam kehidupan manusia.

Emansipasi bukan hanya soal perjuangan perempuan. Tokoh-tokoh pemimpin pria dalam banyak sejarah politik, sering menggunakan istilah ini.

Gagasan “emansipasi” masa revolusi industri justru dikeluarkan oleh pria yang pada waktu itu memiliki banyak kesempatan untuk sekolah tinggi, beraktualisasi, berkarya, dan memimpin.

Suara mereka lebih didengar, dan diantara mereka menganggap emansipasi perlu dilakukan untuk merebut keadilan seluruh manusia.

Abraham Lincoln (presiden USA kala itu) pernah mengeluarkan dekrit dengan tema “Emancipation Proclamation” ketika terjadi perang saudara di Amerika. Dekrit mengumumkan tentang pembebasan budak.

Martin Luther King kemudian menyambut gagasan emansipasi Lincoln dalam pidatonya “I Have A Dream”, yang menyatakan

“… A great American, in whose symbolic shadow we stand today, signed the Emancipation Proclamation.

This momentous decree came as a great beacon light of hope to millions of Negro slaves who had been seared in the flames of withering injustice.

It came as a joyous daybreak to end the long night of their captivity.”

Martin Luther King menyambut emansipasi sebagai keputusan penting, sebagai cahaya mercusuar, sebagai harapan besar bagi jutaan budak Negro “yang dilumuri api ketidakadilan”.

Emansipasi baginya sebuah fajar yang mengakhiri malam panjang pembuangan Negro di Amerika.

Sementara itu filsuf Jerman, Karl Marx, memakai istilah “emansipasi politik” untuk menjelaskan gagasan

“kesamaan derajat warganegara hubungannya dengan negara, kesamaan di depan hukum tanpa memandang agama, harta benda, atau ciri orang perorang lainnya”.

Seperti dalam pernyataan Marx,
"Every emancipation is a restoration of the human world and of human relationships to man himself..”

Bila Lincoln menyebut emansipasi untuk menghentikan perbudakan.
King menyebutnya sebagai “cahaya mercusuar, meraih harapan”.
Dan Marx menyebut emansipasi sebagai kesamaan derajat.

Maka menurut Mariana Amiruddidin seharusnya kita sudah paham maksud istilah ini.

Bahwa di abad ke-21 kini, seluruh sejarah dunia telah melalui proses emansipasi.
Reformasi di Indonesia, juga melalui proses emansipasi.

Emansipasi perempuan perlu (harus, menurut saya) dilakukan; dimana seorang manusia mengalami situasi rentan terhadap kekerasan, pelecehan seksual, bahkan perbudakan seks.

Hampir di setiap negara industri, tempat-tempat prostitusi menjual perempuan untuk dieksploitasi, diantaranya masih anak-anak.

Karena itulah emansipasi menjadi istilah yang digunakan agar seorang perempuan diperlakukan manusiawi.
Karena itulah tidak ada urusannya dengan kodrat ataupun kebablasan.

Emansipasi, baik perempuan, kaum minoritas, kaum miskin, kaum cacat, yang hidupnya mengalami ketidakadilan; prinsip emansipasi dipakai untuk mengembalikan mereka dihargai sebagai manusia.

Alasan emansipasi adalah alasan seseorang untuk keluar dari penindasan, perbudakan, dan diskriminasi.

Jadi, jika kita merasa ada perlakuan yang tidak adil pada diri kita, lalu kita menuntut keadilan, itu sama dengan melakukan tindakan emansipasi.

Kesalahpahaman kita pada emansipasi terjadi selama puluhan tahun.

Kata “persamaan” diartikan dengan “sama”.
Padahal persamaan yang dimaksud adalah “kesetaraan” yang dalam bahasa Inggris disebut “equality”.

Karena itu setiap kali kita mendengar kata “emansipasi”;
segeralah kita mengartikannya dengan

“Suatu tindakan yang menyatakan bahwa setiap orang berharga, bernilai; bahwa tak ada seorangpun yang boleh merendahkan orang lain, baik agama, suku, dan harta benda yang ia miliki.”

Emansipasi bukan hanya untuk perempuan, tapi untuk semua. (amiruddinmariana.blogspot.co.id)


Kemudian saya juga menemukan “Gender and SSR Toolkit” yang dibuat oleh UN-INSTRAW dan DCAF pada tahun 2008 dengan tujuan memasukkan isu gender ke dalam Reformasi Sektor Keamanan (RSK).

Dengan membaca isinya, mata saya mulai terbuka, sedikit demi sedikit saya mulai faham bahwa memadukan isu gender ke dalam RSK adalah kebuthan yang sangat penting dan mendesak.

Hal ini akan sangat bermanfaat, tidak hanya bagi aktor yang menjalankan RSK, namun juga kita sebagai rakyat yang akan menikmati keamanan tersebut.

Begitupun dengan gagasan untuk memperjuangkan kesetaraan dan keadilan gender perlu untuk kita dukung secara penuh.

Menurut saya orang atau kelompok yang menentang kesetaraan dan keadilan gender sangat tidak beralasan.
Apa sebenarnya alasan mereka?

Saya akan menguraikan (di postingan lain) beberapa kasus di lapangan yang akan membuka mata kita bersama dan membuat kita berfikir tentang pentingnya isu gender/ Kesetaraan dan Keadilan Gender.

Kita juga dapat ikut menyebarkan informasi terkait hal ini, untuk ikut mengedukasi, mensosialisasikan terkait isu gender ini, agar tidak terjadi kesalahpahaman mengenai hal ini.

Karena kesalahan dalam menginterpretasikan isu atau gagasan terkait hal ini akan dapat berakibat fatal.

Hampir mirip seperti beberapa tahun lalu dimana beberapa orang atau kelompok menyatakan menentang gagasan tentang diterapkannya pendidikan seks sejak dini di sekolah atau di keluarga.

Alasannya karena tidak sesuai dengan budaya ketimuran, mereka menganggap membicarakan hal terkait seks atau seksualitas adalah sesuatu yang tabu, tak pantas.

Menurut saya, secara tidak langsung pemikiran tersebut ikut mengakibatkan banyak terjadi pelecehan, kekerasan, dan eksploitasi seksual; yang kadang dilakukan atau diterima karena ketidakpahaman.

Korban tidak berani bicara karena takut, malu, atau bahkan memang tidak ngeh (mengerti/ paham) bahwa yang dilakukan pelaku kejahatan tersebut salah dan korban wajib berontak dan menuntut keadilan.

Sosialisasi tentang undang-undang terkait perlindungan terhadap korban pelecehan dan kekerasan perlu untuk terus digaungkan.

Kekerasan seksual menurut World Health Organization (WHO);
Sexual violence is

“any sexual act, attempt to obtain a sexual act, or other act directed against a person’s sexuality using coercion, by any person regardless of their relationship to the victim, in any setting.

It includes rape, defined as the physically forced or otherwise coerced penetration of the vulva or anus with a penis, other body part or object.” (www.who.int)

Definisi umum kekerasan seksual yakni mencakup pemerkosaan, perbudakan seksual, pelacuran paksa, kehamilan paksa, dan segala bentuk kekerasan seksual lainnya. (Gender and SSR Toolkit by UN-INSTRAW & DCAF 2008)


Jadi masihkah kita membiarkan penelantaran anak, pelecehan, dan kekerasan seksual terjadi dan terus meningkat di negeri ini, dan di lingkungan terdekat kita?

Apakah anda akan tetap diam saja atau menolak kesetaraan dan keadilan gender? Mencaci para aktivis emansipasi dan feminist?

Atau sebaliknya, bersedia membuka diri dan ikut mendukung kesetaraan dan keadilan gender dan menolak segala macam bentuk kekerasan yang berdasarkan gender dan seksualitas, serta lainnya? 


Mari kita dukung RUU Penghapusan Kekerasan Seksual untuk segera disahkan dan diterapkan secara penuh di Indonesia.





[Referensi: Mengembalikan Makna Emansipasi Hari kartini oleh Mariana Amiruddin, buku Dari Penjara Taliban Menuju Iman, Gender and SSR Toolkit by UN-INSTRAW & DCAF, www.who.int, RUU KKG 2011]