Memasuki bulan April, biasanya di sekolah,
instansi, organisasi, kelompok masyarakat akan ramai diadakan lomba, talkshow, atau kegiatan lain dalam
memperingati Hari Kartini.
Sudah bukan hal yang asing jika pada tanggal 21 April warga Indonesia utamanya kaum hawa meramaikan
acara tersebut.
Beberapa hari lalu saya juga sempat melihat iklan
film Indonesia berjudul Surat Cinta untuk Kartini yang akan segera tayang di
bioskop.
RA Kartini sering dipuja dan dipuji melebihi
tokoh-tokoh perempuan Indonesia lainnya. Beliau disebut-sebut sebagai tokoh utama
pergerakan emansipasi perempuan. Apakah hal ini masih relevan?
Saya sering berfikir dan bertanya-tanya,
“Kenapa
setiap tanggal 21 April kita memperingati Hari Kartini dan kenapa harus Kartini?
Apakah tidak ada perempuan Indonesia lain yang lebih layak ditokohkan dan
diteladani selain Kartini?”
Apakah anda juga sempat berfikir demikian?
Tahukah anda bahwa pertanyaan kritis semacam ini telah
sering diungkapkan para sejarawan yang mengetahui sejarah, perkembangan
pendidikan dan peran perempuan Indonesia di masa lampu.
Diantaranya adalah sejarawan Persi Tiar Anwar Bahtiar dan Prof. Dr. Harsja W. Bachtiar.
Mereka mengkritik pengkultusan R.A. Kartini sebagai pahlawan nasional Indonesia dan mempertanyakan
mengapa harus Kartini yang dijadikan sebagai simbol kemajuan perempuan
Indonesia.
Harsja menunjuk dua sosok perempuan yang hebat dalam sejarah Indonesia.
Pertama, Sultanah Sri Ratu Tajul Alam Safiatuddin Johan Berdaulat dari
Aceh.
Kedua, Siti Aisyah We Tenriolle dari Sulawesi Selatan.
Anehnya dua wanita tersebut tidak masuk dalam buku Sejarah
Setengah Abad Pergerakan Wanita Indonesia (Jakarta: Balai Pustaka,
1978), terbitan resmi Kongres Wanita Indonesia (Kowani).
Padahal dua wanita itu sungguh luar biasa.
Sebagai catatan, Kartini masuk dalam buku tersebut.
Sultanah Safiatudin dikenal sebagai sosok perempuan yang cerdas dan
aktif mengembangkan ilmu pengetahuan. Selain bahasa Aceh dan Melayu, beliau
menguasai bahasa Arab, Persia, Spanyol, dan Urdu.
Di masa pemerintahannya, ilmu dan kesusastraan
berkembang pesat. Ketika itulah lahir karya-karya besar dari Nuruddin ar-Raniry, Hamzah Fansuri, dan Abdur Rauf.
Sultanah memerintah Aceh cukup lama, yaitu dari tahun 1644 sampai dengan tahun
1675. Beliau dikenal giat dalam memajukan pendidikan, baik perempuan maupun laki-laki.
Beliau juga berhasil menampik usaha-usaha Belanda
untuk menempatkan diri di daerah Aceh. VOC pun tidak berhasil memonopoli
perdagangan timah dan komoditi lainnya.
Wow, impressive ya?
Sosok perempuan yang kedua adalah Siti Aisyah We Tenriolle.
Siti Aisyah We Tenriolle bukan hanya dikenal ahli dalam pemerintahan,
tetapi juga mahir dalam kesusastraan.
B.F. Matthes, orang Belanda yang ahli sejarah Sulawesi Selatan, mengaku mendapat
manfaat besar dari sebuah epos La-Galigo,
yang mencakup lebih dari 7.000 halaman folio.
Ikhtisar epos besar itu dibuat sendiri oleh Siti Aisyah We Tenriolle.
Pada tahun 1908, Siti Aisyah We Tenriolle mendirikan sekolah pertama di Tanette,
tempat pendidikan modern pertama yang dibuka baik untuk anak-anak laki-laki
maupun perempuan.
Penelusuran Prof.
Harsja W. Bachtiar (Kartini dan
Peranan Wanita dalam Masyarakat Kita) terhadap penokohan Kartini akhirnya menemukan titik terang.
R.A. Kartini memang dipilih oleh orang Belanda untuk
ditampilkan ke depan sebagai pendekar kemajuan perempuan pribumi di Indonesia.
Mereka adalah H.H.
van Kol (tokoh sosialisme) dan C.Th.
van Deventer (penganjur “Haluan
Etika”).
Mula-mula Kartini bergaul dengan Asisten-Residen Ovink (suami-istri).
Kemudian Cristiaan
Snouck Hurgronje (penasehat pemerintah Hindia Belanda) mendorong J.H. Abendanon (Direktur Departemen
Pendidikan, Agama dan Kerajinan) agar memberikan perhatian pada Kartini tiga bersaudara.
Harsja menulis tentang kisah ini,
“Abendanon mengunjungi mereka dan kemudian menjadi
semacam sponsor bagi Kartini.
Kartini berkenalan dengan Hilda de BooyBoissevain,
istri ajudan Gubernur Jendral, pada suatu resepsi di Istana Bogor, suatu
pertemuan yang sangat mengesankan kedua belah pihak.”
Kartini kemudian berkenalan dengan Estella
Zeehandelaar (Stella), seorang
aktivis gerakan Sociaal Democratische
Arbeiderspartij (SDAP).
Perempuan Belanda ini kemudian mengenalkan Kartini pada berbagai ide modern,
terutama mengenai perjuangan perempuan dan sosialisme.
Pada tahun 1911, lebih dari enam tahun setelah Kartini wafat (umur 25 tahun), Abendanon menerbitkan kumpulan
surat-surat Kartini dengan judul “Door
Duisternis tot Lich”.
Kemudian terbit edisi bahasa Inggrisnya dengan
judul “Letters of a Javaness Princess”.
Beberapa tahun kemudian, terbit terjemahan dalam
bahasa Indonesia dengan judul “Habis
Gelap Terbitlah Terang: Boeah Pikiran” (1922).
Dua tahun setelah penerbitan buku Kartini, Hilda de Booy-Boissevain memprakarsai
pengumpulan dana yang memungkinkan pembiayaan sejumlah sekolah di Jawa Tengah.
27 Juni 1913, didirikan Komite Kartini Fonds, yang diketuai C.Th. van Deventer. Usaha pengumpulan dana ini lebih memperkenalkan
nama Kartini, serta ide-idenya pada
orang-orang di Belanda.
Harsja Bachtriar kemudian mencatat,
“Orang-orang Indonesia di luar lingkungan terbatas Kartini sendiri,
dalam masa kehidupan Kartini hampir tidak mengenal Kartini dan mungkin tidak
akan mengenal Kartini;
bilamana orang-orang Belanda ini tidak menampilkan Kartini ke depan
dalam tulisan-tulisan, percakapan-percakapan maupun tindakan-tindakan mereka.”
Guru besar UI tersebut menyimpulkan bahwa kita
mengambil alih Kartini sebagai
lambang emansipasi perempuan di Indonesia dari orang-orang Belanda.
Kita tidak mencipta sendiri lambang budaya ini,
meskipun kemudian kitalah yang mengembangkannya lebih lanjut.
Harsja kemudian mengimbau agar informasi tentang perempuan-perempuan hebat Indonesia
dibuka seluas-luasnya, sehingga akan dapat menjadi pengetahuan dan teladan bagi
banyak orang.
Beliau secara halus berusaha meruntuhkan mitos
Kartini.
Harsja menegaskan,
“Dan bilamana ternyata bahwa dalam berbagai hal wanita-wanita ini lebih
mulia, lebih berjasa daripada R.A. Kartini;
kita harus berbangga bahwa wanita-wanita kita lebih hebat daripada
dikira sebelumnya, tanpa memperkecil penghargaan kita pada R.A. Kartini.”
Dalam artikelnya di Jurnal Islamia, Tiar Anwar Bahtiar juga menyebut
beberapa sosok perempuan yang sangat layak dimunculkan, seperti Dewi Sartika dan Rohana Kudus.
Dewi Sartika dan Rohana Kudus melakukan lebih dari
yang dilakukan Kartini.
Berikut ini paparan tentang dua sosok perempuan
hebat tersebut, sebagaimana dikutip dari artikel Tiar Bahtiar (INSISTS-Republika,
9/4/2009).
Dewi Sartika (1884-1947) bukan hanya berwacana
tentang pendidikan kaum wanita.
Ia bahkan berhasil mendirikan sekolah yang belakangan
dinamakan Sakola Kautamaan Istri (1910) yang berdiri di berbagai tempat di
Bandung dan luar Bandung.
Rohana Kudus (1884-1972) melakukan hal yang sama di
kampung halamannya.
Selain mendirikan Sekolah Kerajinan Amal Setia
(1911) dan Rohana School (1916),
Rohana Kudus bahkan menjadi jurnalis sejak di Koto Gadang sampai saat ia
mengungsi ke Medan.
Ia tercatat sebagai jurnalis wanita pertama di
negeri ini.
Rohana menyebarkan idenya melalui koran-koran yang
ia terbitkan sendiri; yaitu Sunting
Melayu (Koto Gadang tahun 1912), Wanita
Bergerak (Padang), Radio (Padang),
dan Cahaya Sumatera (Medan).
Kartini hanya menyampaikan ide-idenya (idea)
dalam surat, dan orang Belandalah yang mempublikasikan dan mengenalkannya.
Sedangkan Dewi Sartika dan Rohana Kudus sudah lebih
jauh melangkah dengan mewujudkan ide-idenya dengan tindakan nyata (action).
Ada pula
Tjoet Nja’ Dhien dan Tengku Fakinah
yang tidak pernah mau tunduk pada Belanda. Selain ikut berperang, Tengku Fakinah merupakan seorang ulama
perempuan.
Di Aceh, kisah perempuan ikut berperang atau
menjadi pemimpin pasukan perang bukanlah suatu hal yang aneh.
Dengan membaca kisah-kisah perjuangan Cut Nyak Dien, Tengku Fakinah, Cut Mutia,
Pecut Baren, Pocut Meurah Intan, dan Cutpo
Fatimah dari Aceh;
kita akan menyadari bahwa klaim-klaim
keterbelakangan kaum perempuan di Indonesia pada masa Kartini hidup ini harus
segera digugurkan.
Mereka adalah perempuan-perempuan pejuang yang
turut mempertahankan kemerdekaan Aceh dari serangan Belanda.
Bahkan jauh sebelum era penjajahan Belanda di
Indonesia, Kerajaan Aceh sudah memiliki Panglima Angkatan Laut perempuan
pertama, yakni Laksamana Cut Malahayati.
Berdasarkan fakta dan informasi tersebut saya semakin
bartanya-tanya. Mengapa Kartini? Mengapa bukan Rohana Kudus? Mengapa bukan Cut
Nyak Dien?
Mengapa Abendanon
memilih Kartini? Dan mengapa kemudian
bangsa Indonesia juga mengikutinya?
Telah diungkapkan oleh Prof. Harsja W. Bachtiar dan Tiar
Anwar Bahtiar, penokohan R.A. Kartini tidak terlepas dari peran
Belanda.
Harsja W. Bachtiar bahkan menyinggung nama Christian Snouck Hurgronje
dalam rangkaian penokohan Kartini
oleh Abendanon.
Padahal, Snouck
adalah seorang orientalis Belanda yang memiliki kebijakan sistematis untuk
meminggirkan Islam dari bumi Nusantara.
Pakar sejarah Melayu, Prof. Naquib al-Attas sudah mengingatkan adanya upaya yang
sistematis dari orientalis Belanda untuk memperkecil peran Islam dalam sejarah
Kepulauan Nusantara.
Dalam bukunya, Islam dalam Sejarah dan Kebudayaan Melayu
(Bandung: Mizan, 1990, cetakan ke-4), Prof. Naquib al-Attas menulis tentang masalah tersebut,
“Kecenderungan ke arah memperkecil peranan Islam
dalam sejarah Kepulauan ini, sudah nyata pula, misalnya dalam tulisan-tulisan
Snouck Hurgronje pada akhir abad yang lalu.
Kemudian hampir semua sarjana-sarjana yang menulis
selepas Hurgronje telah terpengaruh kesan pemikirannya yang meluas dan mendalam
di kalangan mereka,
sehingga tidak mengherankan sekiranya pengaruh itu
masih berlaku sampai dewasa ini.”
HUBUNGAN KARTINI DENGAN SNOUCK HURGRONJE
Kartini memang beberapa kali menyebut nama Snouck
di suratnya kepada Ny. Abendanon. Kartini memandang orientalis-kolonialis
Balanda ini sebagai pakar dalam soal Islam.
Dalam suratnya kepada Ny. Abendanon tertanggal 18 Februari 1902, Kartini menulis,
”Salam, Bidadariku yang manis dan baik! Masih ada
lagi suatu permintaan penting yang hendak saya ajukan kepada Nyonya.
Apabila Nyonya bertemu dengan teman Nyonya Dr.
Snouck Hurgronje, sudikah Nyonya bertanya kepada beliau tentang hal berikut,
‘Apakah dalam agama Islam juga ada hukum akil balig
seperti yang terdapat dalam undang-undang bangsa Barat?’
Ataukah sebaiknya saya memberanikan diri langsung
bertanya kepada beliau? Saya ingin sekali mengetahui sesuatu tentang hak dan
kewajiban perempuan Islam serta anak perempuannya.”
Melalui bukunya, Snouck Hurgronje en Islam,
P.SJ. Van Koningsveld memaparkan
sosok dan kiprah Snouck Hurgronje
dalam upaya membantu penjajah Belanda untuk menaklukkan Islam.
Mengikuti jejak orientalis Yahudi, Ignaz Goldziher, yang menjadi murid para
Syaikh Al-Azhar Kairo; Snouck Hurgronje menyatakan diri sebagai
seorang muslim dan berganti nama menjadi Abdul
Ghaffar.
[Salah satu sumber mengatakan bahwa Hurgronje menyatakan diri sebagai muslim
pada tahun 1885, dan sumber lain menyatakannya pada tahun 1988.]
Strategi itu dijalankan agar dia diterima menjadi
murid para ulama Mekkah. Pengalaman ini nantinya memudahkan langkah Hurgronje dalam menembus daerah Muslim
di berbagai wilayah di Indonesia.
Menurut Van
Koningsveld, pemerintah kolonial Belanda mengerti benar sepak terjang Snouck dalam penyamarannya sebagai
Muslim.
Snouck dianggap oleh banyak kaum Muslim di Nusantara ini sebagai ulama. Bahkan
ada yang menyebutnya sebagai Mufti Hindia
Belanda. Juga ada yang memanggilnya Syaikhul
Islam Jawa.
Padahal Snouck
sendiri menulis tentang Islam,
”Sesungguhnya agama ini meskipun cocok untuk
membiasakan ketertiban kepada orang-orang biadab,
tetapi tidak dapat berdamai dengan peradaban
modern, kecuali dengan suatu perubahan radikal, namun tidak sesuatupun memberi
kita hak untuk mengharapkannya.”
Christian Snouck Hurgronje lahir pada tahun 1857.
Beliau adalah adviseur
pada Kantor voor Inlandsche zaken
pada periode 1899-1906.
Kantor inilah yang bertugas memberikan nasehat
kepada pemerintah kolonial dalam masalah pribumi.
Dalam bukunya, Politik Islam Hindia Belanda (Jakarta:
LP3ES, 1985),
Dr. Aqib Suminto mengupas panjang lebar pemikiran dan nasehat-nasehat Snouck Hurgronje kepada pemerintah
kolonial Belanda.
Salah satu strateginya, adalah melakukan
‘pembaratan’ kaum elite pribumi melalui dunia pendidikan, sehingga mereka jauh
dari Islam.
Menurut Snouck,
lapisan pribumi yang berkebudayaan lebih tinggi relatif jauh dari pengaruh
Islam.
Sedangkan pengaruh Barat yang mereka miliki akan
mempermudah mempertemukannya dengan pemerintahan Eropa.
Snouck optimis, rakyat banyak akan mengikuti jejak pemimpin tradisional
mereka.
Menurutnya, Islam Indonesia akan mengalami
kekalahan akhir melalui asosiasi pemeluk agama ini ke dalam kebudayaan Belanda.
Dalam perlombaan bersaing melawan Islam bisa
dipastikan bahwa asosiasi kebudayaan yang ditopang oleh pendidikan Barat akan
keluar sebagai pemenangnya.
Apalagi, jika didukung oleh kristenisasi dan
pemanfaatan adat.
Aqib Suminto mengupas beberapa strategi Snouck Hurgronje dalam menaklukkan Islam di Indonesia,
“Terhadap daerah yang Islamnya kuat semacam Aceh misalnya, Snouck
Hurgronje tidak merestui dilancarkan Kristenisasi.
Untuk menghadapi Islam ia cenderung memilih jalan halus, yaitu dengan
menyalurkan semangat mereka ke arah yang menjauhi agamanya (Islam) melalui
asosiasi kebudayaan.”
Saya
memposting ini bukan bermaksud untuk tidak menghargai perjuangan R.A. Kartini.
Namun
semata-mata untuk membuka mata kita bersama agar lebih terbuka terhadap
sejarah, kebenaran dan perjuangan para pejuang lain yang patut kita apresiasi
juga.
Agar
kita lebih paham sejarah dan kebenaran serta mengetahui bahwa pejuang-pejuang
perempuan Indonesia sangat banyak jumlahnya.
Apakah
tanggal 21 April masih relevan dijadikan hari untuk memperingati penokohan R.A.
Kartini oleh Belanda sebagai ikon emansipasi perempuan Indonesia?
Silahkan
anda menjawabnya sendiri. :)
[Referensi: Adian Husaini - Catatan
Akhir Pekan (CAP), hidayatullaah.com, Prof. Naquib al-Attas-Islam dalam Sejarah
dan Kebudayaan Melayu, Kartini - Surat-surat kepada Ny. R.M. Abendanon-Mandri
dan Suaminya]