Apakah
teman-teman pembaca sudah membaca postingan saya sebelumnya yang berjudul
Mungkin ada beberapa di antara pembaca
setuju dengan tanggapan sejarawan yang saya paparkan di postingan tersebut?
Dan mencoba berfikir ulang atau
mencari-cari lagi tentang profil dan peran Kartini atau perempuan Indonesia lainnya?
Siapa sebenarnya yang layak disebut
sebagai tokoh emansipasi perempuan Indonesia yang sesungguhnya?
Berapa perempuan inspiratif, yang
peduli dan berjuang demi nasib perempuan Indonesia yang lebih baik, yang dapat
anda tahu atau temukan? Berapa yang banyak dipublish di media?
Ataukah anda merasa
tanggapan-tanggapan tersebut terlalu berlebihan atau dibuat-buat?
“Ya
sudahlah, akui saja Kartini berjasa. Apa lho yang telah kita lakukan?”
Namun tak sedikit pula yang tak peduli
dengan sejarah atau kondisi perempuan Indonesia di negeri ini.
“Ya
sudah terima saja, sudah takdirnya perempuan begini. Tidak usah capek-capek
berfikir dan berjuang untuk kesetaraan perempuan. Perempuan sampai kapanpun
tidak akan bisa menyamai laki-laki.”
Beberapa dengan keras berkata ingat
kodrat perempuan. Apa kamu ingin melawan kehendak tuhan? Apa kamu tak
menghargai adat atau budaya yang mulia yang harusnya dijunjung tinggi-tinggi?
Isu terkait perjuangan perempuan,
emansipasi, kesetaraan gender, feminisme masih menjadi isu yang penting
dan mengundang kontroversi.
Hal ini karena istilah-istilah
tersebut sering dibenturkan pada agama, adat, budaya, hukum dan lain
sebagainya. Setiap orang mempunyai persepsi masing-masing dalam hal ini.
Saya tidak terlalu ingat siapa yang
dimaksud dan apa yang dikatakan teman saya tentang feminisme.
Namun yang jelas dari yang
diutarakannya dia berpendapat bahwa feminisme
itu bertentangan dengan agama (dalam kasus ini agama Islam).
Teman saya itu saya anggap mempunyai
pengetahuan dan pemahaman yang lebih tentang agama dari pada saya. Saat itu
saya masih mahasiswa baru.
Saya belum mengerti tentang feminisme yang sebenarnya. Karena sejak
awal sudah dicekoki bahwa ide feminisme
itu menyalahi kodrat, berlawanan dengan agama maka saya sedikit banyak
terpengaruh.
Saya tidak lagi membicarakannya,
karena saya sendiri mempunyai prinsip saya akan bicara jika saya tahu dan
paham. Jika tidak saya lebih memilih diam, dari pada salah.
Padahal dalam fikiran dan hati saya
selalu tertarik dengan gagasan kesetaraan dan berbagai macam isu terkait
perempuan.
Saya juga penasaran kenapa beberapa
orang aktivis atau kelompok Islam saat itu sangat menentang RUU Kesetaraan dan
Keadilan Gender (RUU KKG 2011). Beberapa diantaranya adalah teman organisasi
saya.
Bukankah RUU tersebut dibuat untuk
memperjuangkan kepentingan dan kebaikan kita juga para perempuan, fikir saya.
Namun kelompok aktivis Islam yang
anggotanya juga termasuk perempuan ini mengusung agama Islam sebagai dasar,
dan mengatakan bahwa beberapa isi atau
ide pemikiran/ perjuangan dibalik pembuatan RUU KKG tersebut menyalahi kodrat
atau bertentangan dengan agama Islam.
Jujur saya sendiri bingung.
Beberapa ayat atau pasal yang telah
diberi tanda, saya tidak tahu teman saya atau orang lain yang menandainya.
Saya baca tentang isi, substansinya,
tidak salah saya fikir, tidak bertentangan dengan Islam menurut saya. Meski
saya belum membaca seluruhnya.
Gender
refers to the socially constructed characteristics of women and men – such as
norms, roles and relationships of and between groups of women and men. It
varies from society to society and can be changed. (www.who.int)
Menurut Wikipedia (https://id.wikipedia.org/);
Gender dalam
sosiologi mengacu pada sekumpulan ciri-ciri khas yang dikaitkan dengan jenis
kelamin seseorang dan diarahkan pada peran sosial atau identitasnya dalam
masyarakat.
Sering kita dengar
bahwa salah satu kemulian Islam adalah memuliakan perempuan. Mereka para
aktivis islam ini tentu setuju dengan itu.
Namun mengapa mereka
merasa terusik ketika ada yang berjuang agar RUU Kesetaraan dan Keadilan Gender
tersebut berhasil disahkan?
Padahal salah satu
tujuan dari berhasilnya pengakuan kesetaraan dan keadilan gender, salah satunya
dengan adanya dan diterapkannya UU KKG, tentu untuk memuliakan perempuan bukan?
UU Kesetaraan dan
Keadilan Gender diperjuangkan untuk meminimalisir dan mencegah terjadinya
perlakuan tidak adil berdasarkan gender, baik itu terhadap perempuan maupun
laki-laki.
Ingat
bahwa kesetaraan dan keadilan gender tidak hanya untuk perempuan namun juga
laki-laki.
Saya justru berfikir
betapa bodohnya kita jika kita membiarkan diri kita diperlakukan tidak adil
atau diskriminatif.
Lebih bodoh lagi jika
ada yang membela dan memperjuangkan hak-hak kita, kita malah menolaknya dan melawannya.
Apalagi dengan dalih
agama atau kepercayaan. Bukankah agama Islam samgat menentang penindasan?
Coba dilihat lagi,
bukankah perempuan-perempuan Islam pada masa lampau, bahkan pada masa Rasulullaah Muhammad SAW juga berjuang,
tak kalah dengan laki-laki, dan melakukan emansipasi?
Sebut saja Khadijah, istri Rasulullaah adalah seorang janda dan pedagang sukses.
Kemudian putri dari Abu Bakar bahkan ikut serta saat
masa-masa perang Rasulullaah (beserta
sahabat dan muslimin) melawan arab jahiliyyah kala itu.
Bahkan orang yang
pertama kali syahid demi mepertahankan keimanan dan keislamannya adalah seorang
perempuan. Beliau disiksa (sampai mati) agar keluar dari agamanya.
Di kerajaan Aceh juga
pernah dipimpin oleh seorang sultanah (sultan perempuan). Beliau seorang yang
pemberani, tegas dan keras terhadap penjajah.
Bahkan sultanah
menerapkan ajaran-ajaran Islam pada pemerintahannya. Beliau dikenal dengan nama
Sultanah Safiatudin Tajul ‘Alam yang
berarti kemurnian iman, mahkota dunia.
Ada pula laksamana
perempuan pertama yang berasal dari Aceh. Beliau mendapat gelar laksamana
karena perjuangannya untuk melawan penjajahan.
Masih dari Aceh, Tjoet Nja’ Dhien adalah sosok pahlawan
perempuan yang berani mengangkat senjata demi melawan penjajahan. Beliau juga
mendapat julukan “Ibu Perbu” karena ahli dalam ilmu agama.
Selain itu ada Rohana Kudus, pejuang emansipasi yang
berjuang agar seluruh masyarakat mempunyai kesempatan yang sama dalam
memperoleh pendidikan.
Rohana adalah seorang
pelopor/ pionir jurnalis perempuan, pendidik, juga pebisnis.
Apakah mereka
menyalahi kodratnya sebagai perempuan?
Apakah mereka
menentang tuhan atau ajaran agamanya?
Mereka beraksi dan
bereaksi keras karena ada penindasan, ketidak adilan, diskriminasi, merasa
terdzolimi, atau untuk bertahan hidup. Serta karena mendapat amanah yang harus
dijalankan.
Mereka berjuang bukan
hanya untuk dirinya sendiri (selfish/
berdasarka ego) namun untuk kondisi yang lebih baik, hidup yang lebih layak,
beradab, berilmu, dan bermartabat.
Manusia tentunya
ingin diperlakukakan manusiawi. So, berperilakulah
dengan manusiawi.
Apakah itu salah?
Saya kadang berfikir,
apakah sebegitu parahnya mental kita sebagai bangsa yang terjajah?
Hal ini kadang yang
menjadi pembenaran atau pembelaan atas tindakan kita yang "nrimo/ nriman" dengan tindakan yang semena-mena, merendahkan
terhadap kita,
sehingga kita sendiri
yang membuat diri kita seakan tak berdaya, tak penting, dinomorduakan atau
hanya sebagai pelengkap?
Kenapa saya berkata
demikian?
Karena jika saya
perhatikan, memang budaya di masyarakat, mengenai penuturan cerita, sudut
pandang, cara bersikap dan berdampak pada tindakan yang mengkerdilkan peran dan
sosok perempuan.
Misalnya saja,
manusia pertama di dunia ini adalah Adam dan Hawa (Eve) diciptakan tuhan untuk
“menemani” Adam.
Kita selalu diajarkan
bahwa yang penting adalah Adam, dan Hawa “hanyalah” sebagai teman atau
pelengkap Adam.
Hawa juga disalahkan
karena dianggap sebagai penyebab diturunkannya Adam dari surga. Hawa dianggap
sebagai penggoda.
Begitupun akhirnya
muncul stigma bahwa perempuan secara umum adalah penggoda dan pendosa?
Kenapa pendosa?
Karena perempuan adalah yang banyak menghuni neraka. Terlepas dari ini benar
atau tidak, karena kita belum mengalaminya. Namun ini diajarkan dalam Islam.
Saya tidak mengatakan
bahwa ajaran agama Islam tersebut salah. Saya hanya berfikir apakah penafsiran,
penyampaian dan penggunaan/ penempatannya sudah tepat?
Yang menjadi
permasalahan adalah ketika bagaimana orang-orang yang berdakwah (pendakwah) ini
dalam menceritakan atau menjelaskannya (yang menurut saya) merendahkan kaum
perempuan.
Apakah hal tersebut
memang ditujukan demikian atau secara tidak sadar atau tidak sengaja, saya
kurang tahu.
Orang yang mendapat
sebutan da’i, ustadz atau guru ini kebanyakan tentu saja laki-laki. Meski ada
beberapa juga perempuan, yang secara tak sadar menganjurkan perempuan untuk
selalu diam dan mengalah.
Jadi di sisi lain
mereka mengatakan bahwa Islam sangat memanusiakan perempuan namun kenyataannya
mereka dalam cara berfikir, ucapan, sikap dan tindakan tidak menunjukkan hal
tersebut.
Perempuan dianggap
seperti barang atau perhiasan, baju,
selimut dan ladang?
Ini memang hanya
bahasa kiasan (analogi) dan mungkin dapat berarti sebagai pujian,
namun sebutan-sebutan
yang disematkan tersebut menjadikan perempuan tidak dianggap sebagai manusia
dan diperlakukan kurang manusiawi.
Seakan bukan hal aneh
jika perempuan merasa direndahkan, selalu disalahkan, tidak dilindungi, tidak
dipenuhi hak-haknya, namun selalu dituntut melaksanakan semua kewajibannya.
Mereka kurang
dihargai sebagai sosok individu yang utuh yang mempunyai perasaan, fikiran dan
keinginan, serta juga mempunyai kepribadian yang unik; sebagaimana laki-laki.
Mereka bahkan
terkadang harus menanggung beban dan tanggung jawab yang lebih berat dari
perempuan pada umumnya di lingkungannya.
Namun perempuan
sering disalahkan dengan kondisi tersebut, alih-alih mendapat simpati dan
empati serta dukungan dan bantuan.
Memang sulit jika
sejak awal kondisinya sudah seperti itu.
Maksud saya, merubah
paradigma, cara berfikir (the way you
think) dan cara hidup (the way of
life), itu tidak mudah.
Bahkan hal ini
terjadi pada diri kita secara tidak sadar, samar-samar namun kita dapat
merasakanya dan memikirkannya kemudian akan menyadarinya.
Seperti saat saya
menulis ini, ada rasa takut. Takut
apakah saya tidak salah menulis? Apakah tidak apa-apa saya berpendapat seperti
ini? Bagaimana tanggapan orang-orang yang membaca tulisan saya?
Utamanya orang-orang
yang menolak ide/ gagasan tentang kebebasan berpendapat (meski hal ini telah
dilindungi undang-undang),
kesetaraan dan
keadilan gender, feminisme, atau yang tidak setuju dengan pendapat atau cara
berfikir saya.
Yang mendukung hal
ini dan paham akan isu tersebut, bisa saja mereka menganggap saya sok tahu, padahal saya tidak tahu
apa-apa? Mungkin.
Karenanya saya
menuliskan rasa penasaran dan keingintahuan saya.
Siapa tahu akan ada
orang yang dengan senang hati bersedia memberikan feedback melalui komentar di blog saya atau melalui email, bertukar
pendapat, dan mendiskusikan hal ini lebih lanjut. J
Mungkin juga di
antara pembaca hanya bisa mengumpat, mencibir tulisan saya dan menganggap saya
kurang kerjaan?
Anggapan ini tidak
sepenuhnya salah. (saya memang
kurang kerjaan.:D)
Terkadang saya merasa
menemukan adanya kontradiksi antara peran perempuan yang sebagai seorang ibu
yang dipuja-puji sebagai sosok mulia, pendidik pertama dalam keluarga, surga
bagi anak-anaknya;
namun di sisi lain
mereka adalah istri yang tidak boleh membantah apa kata suami, tidak boleh
lebih pintar dari suami, lebih kritis, lebih kuat, lebih mampu dari pada suami.
Padahal kondisi atau
realita kehidupan sangat berbeda.
Terkadang suami tak
mampu berperan sebagai kepala keluarga, misalnya, dan istri terpaksa harus
mengambil alih peran tersebut.
Saya sering
memperhatikan perempuan single dengan
yang sudah berkeluarga sangat jauh perbedaannya.
Bukan hanya soal
status atau tanggung jawab sebagai istri dan ibu, namun yang lainnya, cara
bersikap dan dalam menghadapi suatu masalah.
Seorang perempuan
yang telah menjadi ibu memang biasanya lebih dewasa dan penyayang dari pada
sebelumnya.
Sebagai istri,
perempuan akan lebih menjaga sikapnya, menahan amarahnya, keinginan dan mungkin
pendapatnya.
Saya sering
bertanya-tanya apakah dengan berkeluarga menjadikan perempuan tidak lagi bebas,
merasa terkungkung, dikendalikan dan dikuasai?
Apakah perempuan
merasa tidak bisa menjadi diri sendiri, tidak berani mengungkapkan pendapatnya,
dan bahkan mengorbankan cita-citanya?
Perempuan sebagai
seorang anak juga terkadang mendapat perlakuan yang berbeda (berbeda dalam arti
tidak baik atau tidak adil/ diskriminasi) dibanding laki-laki.
Begitupun perempuan
sebagai individu, di masyarakat, berpolitik dan status ekonomi, hukum, dan lain
sebagainya.
Perempuan kerap
dipandang sebelah mata, lebih rendah, lemah, kurang capable/ kompeten, mudah dikelabui, tidak punya prinsip, dan sifat
lain yang dianggap kurang bagus atau kurang sempurna.
Jika perempuan
berpendidikan rendah, berwawasan sempit, tidak berpenghasilan, kemudian
direndahkan, dianggap wajar karena dia perempuan.
Jika laki-laki baru
itu menjadi masalah. Hal ini bisa dengan alasan terkait dengan peran laki-laki
sebagai kepala keluarga nantinya jika sudah berkeluarga.
Jika perempuan berpendidikan
tinggi dan berpenghasilan tinggi dianggap hebat, luar biasa atau malah kebanyakan pria menjauh?
Terkadang perempuan
tersebut atau orangtuanya dianggap berlebihan, terlalu "ngoyo".
Itu sedikit contoh
nyata adanya diskriminasi berdasarkan gender.
Karenanya ide, gagasan,
pemikiran, perjuangan dan gerakan dalam mewujudkan kesetaraan dan keadilan
gender adalah suatu hal yang penting dan harus didukung.
Beberapa anak
perempuan dalam keluarga mungkin pernah diperlakukan buruk, direndahkan, dari
pada saudaranya yang laki-laki, ataupun sebaliknya.
Sejak kecil mereka dan/
atau kita sudah ditanamkan pemikiran-pemikiran tentang ketidaksetaraan dan
ketidakadilan gender;
baik dari keluarga,
lingkungan dekat, pendidikan umum, pendidikan agama, media, dan lainnya sehingga
terwujud dalam sikap serta tindakan.
Agar ketidakadilan
dan kekerasan tidak terjadi, salah satunya adalah dengan meluruskan
kesalahkaprahan tersebut.
Dengan mengenalkan
pemahaman gender yang benar dan tepat sejak dini serta mewujudkan kesetaraan
dan keadilan gender akan dapat mencegah perilaku diskriminasi dan kekerasan
berbasis gender.
Saya pernah membaca
buku berjudul “Dari Penjara Taliban Menuju Iman”. Buku ini bercerita tentang
kisah nyata Yvonne Ridley, wartawati
Inggris yang ditahan oleh Taliban.
Selama menjadi
tahanan Ridley diperlakukan sangat baik dan manusiawi, jauh dari kata bengis
atau kasar seperti pada berita atau film yang dia ketahui tentang penggambaran
terhadap tentara Taliban.
Ridley merasa kagum
dengan perlakuan Taliban dan mulai mempelajari Islam. Singkat cerita, Ridley pun
masuk Islam.
Ridley bahkan menjadi
aktifis untuk memperkenalkan Islam dan meluruskan pemahaman yang salah tentang
Islam di Barat (Eropa dan Amerika), di mana masih banyak Islamophobia di sana.
Yvonne Ridley juga
merupakan seorang feminist.
Lalu saya berfikir
saat itu, di mana letak kesalahannya?
Maksud saya,
perempuan ini muallaf dan aktivis
yang memperjuangkan agama Islam di negeri yang mayoritas penduduknya non
muslim.
Apakah benar feminisme,
emansipasi perempuan, serta gagasan dan perjuangan tentang kesetaraan dan
keadilan gender salah di mata Islam?
Atau ini hanya
kesalahpahaman, ketidaktahuan atau karena faktor sentimen negatif, sinisme dan fanatisme golongan?
Pertanyaan-pertanyan
tersebut sudah lama saya abaikan/ pendam karena saya punya hal lain yang saya
kerjakan dan fikirkan. Dan alasan utama karena saya tidak tahu harus bertanya
pada siapa. :/
Kebanyakan dari teman
saya tidak tahu isu ini, tidak mengerti atau tidak peduli.
Sebagian lagi adalah
orang-orang yang menurut saya mengikuti tentang isu ini, namun mereka lebih
mengutamakan kepentingan golongan mereka.
Saya tidak tahu
mereka memang benar-benar mengerti tentang masalah ini atau hanya tahu dari
orang-orang di atas mereka, rekan-rekan mereka, dan diajak untuk menentang isu
ini?
Apakah mereka
benar-benar bisa berfikir positif, open
minded, multi perspective,
berjiwa besar, atau justru digerakkan oleh kesetian buta terhadap golongannya?
Pertanyaan-pertanyaan
dan keingintahuan saya tersebut menggangu ketenangan fikiran saya.
Lalu kemudian saat
saya mencari informasi tentang organisasi masyarakat, keilmuwan; lebih khusus
kemudian saya mencari organisasi perlidungan perempuan dan anak.
Bertepatan pula saat
momen Hari Kartini tanggal 21 April.
Saya menemukan website Jurnal Perempuan, yang berjuang
untuk pencerahan dan kesetaraan kaum marjinal, utamanya perempuan.
Hari berikutnya saya
menemukan blog Catatan Mariana Amiruddin. Mariana Amiruddin adalah salah satu anggota dewan redaksi dari
Jurnal Perempuan.
Di blognya beliau
membahas diantaranya tentang Kartini, perempuan dan emansipasi. Sangat menarik.
Beberapa telah menjawab pertanyaan saya tentang emansipasi perempuan dan
kodrat.
Apa sih sebenarnya
emansipasi itu?
Apakah emansipasi
hanya untuk perempuan?
Apakah memperjuangkan
emansipasi perempuan menyalahi kodrat?
Tulisan Mariana Amiruddin tentang emansipasi ini pernah dimuat di Majalah Esquire dan Jurnal
Perempuan.
Emansipasi diambil
dari bahasa Inggris “emancipation”, sebuah istilah yang
digunakan untuk menjelaskan sejumlah upaya untuk mendapatkan hak politik,
derajat yang sama, dalam kehidupan manusia.
Emansipasi bukan
hanya soal perjuangan perempuan. Tokoh-tokoh pemimpin pria dalam banyak sejarah
politik, sering menggunakan istilah ini.
Gagasan “emansipasi”
masa revolusi industri justru dikeluarkan oleh pria yang pada waktu itu
memiliki banyak kesempatan untuk sekolah tinggi, beraktualisasi, berkarya, dan
memimpin.
Suara mereka lebih
didengar, dan diantara mereka menganggap emansipasi perlu dilakukan untuk
merebut keadilan seluruh manusia.
Abraham
Lincoln (presiden USA kala itu) pernah mengeluarkan
dekrit dengan tema “Emancipation
Proclamation” ketika terjadi perang saudara di Amerika. Dekrit mengumumkan
tentang pembebasan budak.
Martin
Luther King kemudian menyambut gagasan emansipasi
Lincoln dalam pidatonya “I Have A Dream”, yang menyatakan
“…
A great American, in whose symbolic shadow we stand today, signed the
Emancipation Proclamation.
This
momentous decree came as a great beacon light of hope to millions of Negro
slaves who had been seared in the flames of withering injustice.
It
came as a joyous daybreak to end the long night of their captivity.”
Martin Luther King
menyambut emansipasi sebagai keputusan penting, sebagai cahaya mercusuar,
sebagai harapan besar bagi jutaan budak Negro “yang dilumuri api
ketidakadilan”.
Emansipasi baginya
sebuah fajar yang mengakhiri malam panjang pembuangan Negro di Amerika.
Sementara itu filsuf
Jerman, Karl Marx, memakai istilah “emansipasi politik” untuk menjelaskan
gagasan
“kesamaan derajat
warganegara hubungannya dengan negara, kesamaan di depan hukum tanpa memandang
agama, harta benda, atau ciri orang perorang lainnya”.
Seperti dalam pernyataan
Marx,
"Every
emancipation is a restoration of the human world and of human relationships to
man himself..”
Bila Lincoln menyebut
emansipasi untuk menghentikan perbudakan.
King menyebutnya
sebagai “cahaya mercusuar, meraih harapan”.
Dan Marx menyebut
emansipasi sebagai kesamaan derajat.
Maka menurut Mariana
Amiruddidin seharusnya kita sudah paham maksud istilah ini.
Bahwa di abad ke-21
kini, seluruh sejarah dunia telah melalui proses emansipasi.
Reformasi di
Indonesia, juga melalui proses emansipasi.
Emansipasi perempuan
perlu (harus, menurut saya) dilakukan;
dimana seorang manusia mengalami situasi rentan terhadap kekerasan, pelecehan
seksual, bahkan perbudakan seks.
Hampir di setiap
negara industri, tempat-tempat prostitusi menjual perempuan untuk dieksploitasi,
diantaranya masih anak-anak.
Karena itulah
emansipasi menjadi istilah yang digunakan agar seorang perempuan diperlakukan
manusiawi.
Karena itulah tidak
ada urusannya dengan kodrat ataupun kebablasan.
Emansipasi, baik perempuan,
kaum minoritas, kaum miskin, kaum cacat, yang hidupnya mengalami ketidakadilan;
prinsip emansipasi dipakai untuk mengembalikan mereka dihargai sebagai manusia.
Alasan emansipasi
adalah alasan seseorang untuk keluar dari penindasan, perbudakan, dan
diskriminasi.
Jadi, jika kita merasa
ada perlakuan yang tidak adil pada diri kita, lalu kita menuntut keadilan, itu
sama dengan melakukan tindakan emansipasi.
Kesalahpahaman kita
pada emansipasi terjadi selama puluhan tahun.
Kata “persamaan”
diartikan dengan “sama”.
Padahal persamaan
yang dimaksud adalah “kesetaraan” yang dalam bahasa Inggris disebut “equality”.
Karena itu setiap
kali kita mendengar kata “emansipasi”;
segeralah kita
mengartikannya dengan
“Suatu
tindakan yang menyatakan bahwa setiap orang berharga, bernilai; bahwa tak ada
seorangpun yang boleh merendahkan orang lain, baik agama, suku, dan harta benda
yang ia miliki.”
Emansipasi
bukan hanya untuk perempuan, tapi untuk semua. (amiruddinmariana.blogspot.co.id)
Kemudian saya juga
menemukan “Gender and SSR Toolkit”
yang dibuat oleh UN-INSTRAW dan DCAF pada tahun 2008 dengan tujuan memasukkan
isu gender ke dalam Reformasi Sektor Keamanan (RSK).
Dengan membaca
isinya, mata saya mulai terbuka, sedikit demi sedikit saya mulai faham bahwa
memadukan isu gender ke dalam RSK adalah kebuthan yang sangat penting dan
mendesak.
Hal ini akan sangat
bermanfaat, tidak hanya bagi aktor yang menjalankan RSK, namun juga kita
sebagai rakyat yang akan menikmati keamanan tersebut.
Begitupun dengan
gagasan untuk memperjuangkan kesetaraan dan keadilan gender perlu untuk kita
dukung secara penuh.
Menurut saya orang
atau kelompok yang menentang kesetaraan dan keadilan gender sangat tidak
beralasan.
Apa sebenarnya alasan
mereka?
Saya akan menguraikan
(di postingan lain) beberapa kasus di lapangan yang akan membuka mata kita
bersama dan membuat kita berfikir tentang pentingnya isu gender/ Kesetaraan dan
Keadilan Gender.
Kita juga dapat ikut
menyebarkan informasi terkait hal ini, untuk ikut mengedukasi, mensosialisasikan
terkait isu gender ini, agar tidak terjadi kesalahpahaman mengenai hal ini.
Karena kesalahan
dalam menginterpretasikan isu atau gagasan terkait hal ini akan dapat berakibat
fatal.
Hampir mirip seperti
beberapa tahun lalu dimana beberapa orang atau kelompok menyatakan menentang gagasan
tentang diterapkannya pendidikan seks sejak dini di sekolah atau di keluarga.
Alasannya karena
tidak sesuai dengan budaya ketimuran, mereka menganggap membicarakan hal
terkait seks atau seksualitas adalah sesuatu yang tabu, tak pantas.
Menurut saya, secara
tidak langsung pemikiran tersebut ikut mengakibatkan banyak terjadi pelecehan,
kekerasan, dan eksploitasi seksual; yang kadang dilakukan atau diterima karena
ketidakpahaman.
Korban tidak berani
bicara karena takut, malu, atau bahkan memang tidak ngeh (mengerti/ paham) bahwa yang dilakukan pelaku kejahatan
tersebut salah dan korban wajib berontak dan menuntut keadilan.
Sosialisasi tentang
undang-undang terkait perlindungan terhadap korban pelecehan dan kekerasan perlu
untuk terus digaungkan.
Kekerasan seksual
menurut World Health Organization
(WHO);
Sexual
violence is
“any
sexual act, attempt to obtain a sexual act, or other act directed against a
person’s sexuality using coercion, by any person regardless of their
relationship to the victim, in any setting.
It
includes rape, defined as the physically forced or otherwise coerced
penetration of the vulva or anus with a penis, other body part or object.” (www.who.int)
Definisi umum kekerasan
seksual yakni mencakup pemerkosaan, perbudakan seksual, pelacuran paksa,
kehamilan paksa, dan segala bentuk kekerasan seksual lainnya. (Gender
and SSR Toolkit by UN-INSTRAW & DCAF 2008)
Jadi masihkah kita
membiarkan penelantaran anak, pelecehan, dan kekerasan seksual terjadi dan
terus meningkat di negeri ini, dan di lingkungan terdekat kita?
Apakah anda akan
tetap diam saja atau menolak kesetaraan dan keadilan gender? Mencaci para
aktivis emansipasi dan feminist?
Atau sebaliknya,
bersedia membuka diri dan ikut mendukung kesetaraan dan keadilan gender dan
menolak segala macam bentuk kekerasan yang berdasarkan gender dan seksualitas,
serta lainnya?
Mari kita dukung RUU
Penghapusan Kekerasan Seksual untuk segera disahkan dan diterapkan secara penuh
di Indonesia.
[Referensi: Mengembalikan Makna Emansipasi Hari kartini oleh Mariana Amiruddin, buku Dari Penjara Taliban Menuju Iman, Gender and SSR Toolkit by UN-INSTRAW &
DCAF, www.who.int, RUU KKG 2011]