“Ubahlah caramu berfikir, maka duniamu juga akan berubah.”
(Norman Vincent Peale)
Lesbian, Gay, Bisexual, Transgender (LGBT) menjadi isu hangat
akhir-akhir ini. Khalayak mulai resah dengan fenomena pernikahan sesama jenis
yang telah dilegalkan di berbagai negara. Salah satunya pelegalan pernikahan
sesama jenis yang dilakukan pengadilan Amerika Serikat. Pelegalan pernikahan
sesama jenis banyak menimbulkan pro dan kontra di berbagai belahan dunia,
termasuk Indonesia. Masyarakat Indonesia ada yang mendukung LGBT namun ada pula
yang menentang pelegalan nikah terhadap kelompok tersebut.
PERBEDAAN LGBT DENGAN SSA
Berbeda dengan kebanyakan orang yang ribut
soal pro dan kontra LGBT (Lesbian, Gay,
Bisexual, Transgender), Agung Sugiarto, aktivis Lembaga Peduli Sahabat,
justru menyikapinya secara berbeda. Melalui Peduli Sahabat, beliau berusaha memberi
solusi bagi orang dengan Same Sex
Attraction (SSA) yang ingin hidup di jalan agama dan adat setempat. Penulis
buku “Anakku Bertanya tentang LGBT” dengan nama pena Sinyo Egie ini, mengatakan
LGBT dan SSA merupakan dua hal yang berbeda meski dapat dikatakan berkaitan.
Jika LGBT adalah identitas seksual maka SSA adalah orientasi (ketertarikan)
seksual. SSA yang dimiliki seseorang bisa dianggap sebagai pemberian sekaligus
ujian dari Yang Maha Kuasa.
Orientasi seksual dan identitas
sosial tentu saja berbeda. LGBT adalah identitas sosial; semacam penerimaan
diri, pencitraan, aktualisasi diri yang hadir sebagai lawan dari identitas
Heteroseksual. Sedangkan SSA adalah orientasi seksual sesama jenis. Misalnya
ada orang yang mempunyai SSA dan pernah melakukan tindakan seks sesama jenis
tetapi dia tidak ingin menjadi LGBT maka kita tidak bisa menyebutnya LGBT. Masih
banyak orang SSA yang tidak ingin menjadi LGBT, dia ingin hidup secara
identitas Hetero seperti yang ada dalam agama atau adat setempat.
“Orang
SSA belum tentu menjadi LGBT, namun orang yang LGBT sudah pasti termasuk
SSA,” tegas Sinyo.
Mentor parenting dan dunia anak-anak yang akrab disapa Sinyo ini, menyampaikan
jika ada niat orang dengan orientasi seks sesama jenis (SSA) dapat memilih
identitas Heteroseksual dari pada memilih identitas Homoseksual atau LGBT. Sinyo
menambahkan bahwa orientasi seksual dapat berubah tergantung situasi dan kondisi
seseorang.
“Kita
tidak boleh mengenalisir bahwa orang SSA tidak bisa berubah orientasi seksnya
begitu juga dengan yang heteroseksual. Sebab jiwa seseorang itu tidak bisa
disamakan antara satu dengan yang lain. Jiwa bukan ilmu pasti seperti
matematika, karena jiwa masing-masing orang itu membawa pengalaman
masing-masing,” jelasnya.
“Jiwa kitalah diri kita yang sesungguhnya, bukan tubuh fisik
yang bisa ditunjuk dengan jari.”
(Cicero)
PEMICU SSA (SAME SEX
ATTRACTION)
Peduli Sahabat bukan hanya memberi
pendampingan tentang menjalani hidup dengan baik meski mempunyai ketertarikan
dengan sesama jenis (SSA) tetapi juga edukasi. Salah satunya tentang sebab yang
menjadi pemicu seseorang mempunyai SSA.
Berdasarkan data klien Peduli
Sahabat sejak 2008, terdapat tiga pemicu utama seseorang mempunyai SSA, yaitu:
1. Pemaksaan dalam mengambill role
model yang salah
Misalnya seorang anak laki-laki mengambil
peran dari ibunya, atau sebaliknya, perempuan mengambil peran dari ayahnya.
Pemaksaan ini disebabkan oleh beberapa hal seperti broken home, ketidakharmonisan keluarga, dominasi ibu, dominasi
ayah, kekerasan rumah tangga, dll.
2. Over protective
(terlalu dimanja atau terlalu dilindungi)
Biasanya terjadi pada anak bungsu, tunggal,
satu-satunya jenis kelamin dalam keluarga, anak istimewa (misalnya paling
ganteng atau paling cerdas), atau anak dari keluarga broken home (dibesarkan oleh salah satu orang tua/ single parent).
“Membesarkan keluarga haruslah dianggap sebuah petualangan,
bukannya disiplin berlebihan, tempat semua orang terus menerus dinilai dari
perilaku mereka.”
(Milton R. Sapirsten)
3. Salah mengambil role
model secara sukarela
Berbeda dengan nomor satu, situasi dan kondisi
anak diberi kebebasan memilih model sendiri, biasanya kedua orang tua sibuk
kerja dengan materi berlimpah atau anak yatim-piatu. Jadi bisa saja secara
hubungan keluarga harmonis tapi anak-anak dibiarkan memilih model tanpa diberi
contoh atau pemberitahuan.
Semua
pemicu itu terjadi pada masa Balita (usia di bawah lima tahun). Dalam
perkembangannya akan mengalami penguatan. bisa jadi karena trauma jiwa seperti
pelecehan seksual pola
pengasuhan anak, atau yang lain. Kebanyakan hal ini terjadi di atas Balita.
“Anak-anak lebih membutuhkan teladan dan contoh, bukan kritik dan
celaan.”
(Jouseph Joubert)
Nah, dengan begini para orang tua
atau calon orang tua dapat mengambil pelajaran untuk mendidik anak dengan baik
dan benar. Bagaimana menciptakan kondisi dimana anak merasa cukup, sejahtera,
dalam hal ini kebutuhan atau hak-hak anak terpenuhi. Hak-hak atau kebutuhan apa
sajakah itu?
1. Kebutuhan akan keamanan,
ketenangan (perlindungan)
2. Kebutuhan fisik (misal: sandang,
pangan, papan)
3. Kebutuhan emosional (misal: kasih
sayang, perhatian)
Situasi dan kondisi keluarga
serta lingkungan terdekat (misal: teman, tetangga, tempat bermain, sekolah) yang
kondusif akan mendukung pertumbuhan dan perkembangan anak secara sehat.
“Dalam keluarga yang bahagia, semua anggotanya merasakan hal
yang sama. Dalam keluarga yang sangat tidak bahagia, anggota-anggotanya punya
kesedihan masing-masing.”
(Leo Tolstoy)
MENGUBAH ORIENTASI SEKSUAL
Apakah orientasi seksual dapat berubah? Jawabnya
bisa saja namun semua itu tergantung situasi dan kondisi seseorang.
Beberapa sahabat kita yang
menjadi narasumber di Peduli Sahabat misalnya, dapat menjalani hidup sebagai
orang dengan identitas Heteroseksual (menikah dengan lawan jenis, mempunyai
anak, dll.) berdasarkan agama serta adat setempat.
“Di
Peduli Sahabat, ada empat narasumber yang berhasil mengubah orientasi
seksualnya,” ungkap
Sinyo.
“Hampir
sama dengan pecandu rokok, kalau dia mempunyai niat yang kuat untuk mengubah
maka bisa diubah walau perlu waktu bahkan sampai wafat, sebaliknya jika niatnya
lemah apalagi tidak mempunyai niat untuk berubah maka selamanya ia tidak bisa
berubah,” lanjutnya.
Tiga orang narasumber awalnya
adalah individu dengan SSA kemudian menjadi heteroseksual. Sedangkan satu orang
narasumber dari heteroseksual menjadi SSA kemudian berbalik lagi menjadi
heteroseksual. Yang menarik di sini, seorang hetero pun dapat berubah menjadi
SSA. Hal ini mengingatkan kita pada kaum di jaman Nabi Luth. Maka semua
kemungkinan dapat terjadi, bukan?
Metode yang digunakan Peduli Sahabat adalah
metode dari empat narasumber yang telah berhasil mengubah orientasi seksualnya.
Menurut metode tersebut ada beberapa tahapan agar mereka bisa mandiri.
“Kami
biasanya memberikam 2 pilihan bagi mereka yang mau berubah. Pertama, proses
perubahan bisa dilakukan bersama Peduli Sahabat dengan metode pendampingan.
Kedua, dapat dilakukan sendiri dengan melihat tahapannya di buku ‘Anaku
Bertanya tentang LGBT’,”
tutup Sinyo.
Peran
Peduli Sahabat
adalah memberikan pendampingan kepada:
1. Individu non-heteroseksual
yang ingin hidup di jalan agama dan adat setempat.
2. Keluarga (orang tua, anak, atau saudara kandung)
yang bingung menyikapi keluarganya yang memiliki SSA.
3. Suami atau istri yang pasangannya memiliki SSA.
So,
bagi sahabat yang peduli terhadap isu SSA dan LGBT, atau memiliki kecenderungan
SSA silahkan bergabung di Peduli Sahabat.
[Sumber: Islampos, Group Peduli Sahabat, Rubrik Psikologi TVRI,
dan sumber lain]